DAMAI

2K 184 10
                                    

Rencana Tuhan memang tiada ada yang pernah tahu. Sebelumnya aku mengira, tidak akan lagi bertemu dengan Ziddan. Namun sekarang, aku berjalan membuntutinya. Entah rencana apa lagi yang dia buat, untuk mengerjaiku.

"Ziddan." Ucapku.
Langkah kami berhenti saat berada disamping mobil Ferrari milik Ziddan.

"Apa?" Jawab Ziddan.

"Aku tau, semua ini salahku."

Perselisihan ini tidak akan pernah berakhir, jika tidak ada yang mengalah. Aku mengalah bukan berarti kalah.

"Aku minta maaf. Kita akhiri saja semua ini dengan damai." Pintaku pada Ziddan.

"Setelah semua yang kamu lakukan. Kamu minta damai? Gak segampang itu !" Jawab Ziddan.

"Masuk." Perintahnya.

Percuma aku minta maaf, orang seperti Ziddan mana bisa memaafkan. Baiklah, aku akan turuti permainanmu.

"Tunggu! Aku gak mau naik mobilmu." Tegasku.

"Apa lagi sih?" Ziddan urung masuk kemobil.

"Aku mau ikut denganmu, kalau bawa sekuter." Jelasku.

"Besi tuamu itu? Itu bisa buat aku tetanus. Ngerti!" Tegas Ziddan.

"Kalau begitu aku yang bawa mobil." Ucapku.

Yang jelas aku tidak mau mengikutinya. Pengalamanku selama mengenal Ziddan beberapa hari ini, sudah cukup membuatku paham bagaimana sosoknya. Memangnya dia pikir aku sebodoh hari-hari kemarin. Akhirnya Ziddan membiarkanku membawa mobilnya.

"Hey! Pelan dikit!" Teriak Ziddan.

"Lo pikir ini jalan nenek moyang lo!" Bentak Ziddan.

"Raniii...!"

Selama perjalanan tidak henti-hentinya Ziddan berteriak membentak. Karena caraku membawa mobil yang sedikit ekstrim.

"Rani...!" Teriak Ziddan lagi.

Saat aku memberhentikan mobil secara mendadak. Didepan gedung tempat berlatih anggar. Aku sudah lama tidak berkunjung ditempat ini. Dulu sering kesini,karena hobi.
Dan hari ini aku ingin memberi pelajaran baru untuk Ziddan.

Ziddan keluar dari mobil sedikit sempoyongan, mual melanda perutnya.

"Lo... Elo..." Ziddan menunjuk-nunjuk kearahku. Namun sesuatu yang tertahan ingin keluar dari rongga mulutnya. Ia berlari kearah belakang mobil.
Aku tidak memperdulikannya dan masuk begitu saja.

10 menit berlalu aku menunggu Ziddan didalam. Kemana dia? Tidak mungkin kabur, kunci mobil masih ku bawa. Tidak berapa lama, terlihat Ziddan berjalan gontai kearahku.

"Ngapain kesini?" Tanya Ziddan lemas.

"Pakai kostummu." Aku melempar baju jaket lengkap dengan sarung tangan.

" Aku gak mau!" Tolak Ziddan.

"Kalau gitu kita damai!" Tegasku.

"Oke. Kalau aku kalah, kita damai. Tapi kalau kamu yang kalah, kamu turuti semua keinginan ku." Jelas Ziddan.

"Baik!"
Aku mengulurkan tangan, tanda setuju. Ziddanpun menyambut tanganku dengan senyum tersungging. Kemudian mengganti kostumnya. Ternyata dia tidak mau berdamai juga.

"Dasar kepala batu!" Ucapku dalam hati.

"Hanya 10 menit!" Tegasku.
Saat Ziddan kembali setelah memakai kostumnya. Kemudian aku melempar floret untuk Ziddan.

Pertarungan pun dimulai. Ziddan mulai menyerangku bertubi-tubi, tapi tak terarah. Sedang ketangkasan tanganku tidak kalah gesit dari caranya. Melihat cara Ziddan, sepertinya dia kurang berstrategi. Memasuki menit ke enam, aku berhasil menusukkan floret tepat didadanya.

"Empat menit lagi!" Teriakku.

Kali ini aku lebih awal menyerang Ziddan. Sedang dia mulai kewalahan, karena tenaganya telah terporsir dimenit-menit awal. Langkahnya terus mundur, sampai akhirnya ia terjatuh dilantai.

Aku membuka masker pelindung wajah. Napaskupun terengah-engah. Maklum sudah lama tidak seperti ini.

"Kamu kalah." Ucapku menatap Ziddan yang terkapar dilantai.
Aku membalikkan tubuhku, hendak mengambil minum.

Seketika Ziddan menarik tanganku dengan kuat. Dalam waktu sekejap tubuhku terlempar kelantai. Belum sempat aku membalikan tubuh, Ziddan memelintir tangan kananku kebelakang.

"Aaa...!" Aku berteriak kesakitan.

Kurang ajar. Dia memanfaatkan kelengahanku.

Sekuat tenaga aku membalikan tubuhku, sehingga tangan kananku terlepas dari Ziddan. Dan dengan sigap aku siap meninju wajah Ziddan yang masih terbaring dilantai. Namun ku urungkan, karena dia belum melepas maskernya.

"Kenapa lo selalu buat buat gue dalam situasi seperti ini!"
Kalau sudah keluar bahasa lo-gue, itu tandanya aku marah besar.

"Gue gak mau nonjok lo lagi. Ngerti!"
Aku benar-benar menahan emosiku.

Ziddan melepaskan masker pelindung wajah. Napasnya masih tersengal-sengal. Kemudian mengulurkan tangannya padaku (Meminta bantuan untuk berdiri). Dengan berat hati aku membantunya. Namun salah dugaan, tangan Ziddan menarikku dengan kuat hingga aku terbaring disampingnya. Dengan sigap aku hendak berdiri, namun tangan kanan Ziddan melintang di leherku.

"Istirahat dulu, aku capek." Rengek Ziddan seperti tanpa dosa.

Sebenarnya aku juga capek. Dalam beberapa saat kami berbaring tanpa kata-kata. Menikmati suasana yang lelah.

Kemudian Ziddan mengacungkan jari kelingkingnya.
"Kita damai." Ucapnya.

Aku menoleh ke Ziddan, sepertinya dia serius.

"Damai." Jawabku.
Sambil mengaitkan jari kelingkingku kejari kelingking Ziddan.

Kata damai itu memberi ketenangan di jiwa. Meski untuk mengikrarkannya tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi bagiku mengajak orang lain berdamai, itu bukan berarti kekalahan. Justru kita mengajarkan pada diri, untuk tidak egois dan memberi contoh yang baik.

"Kamu mau minum apa?" Tanya Ziddan. Sesaat kami duduk disebuah cafe yang tidak jauh dari lokasi tadi.

"Terserah kamu aja."

"Ntar kamu lo yang bayar ini." Ucap Ziddan.

Mengapa jadi aku yang bayar? Dia yang menawarkan.

"Orange jucie 2." Ucapku pada seorang pelayan.

"Kan aku belum pesan?" Gerutu Ziddan.

"Tapi aku yang bayar." Tegasku.

Situasi keuangan ku saat ini lagi bermasalah. Apa lagi aku kehilangan pekerjaan, ditambah mama yang berkunjung ke Jakarta bakal menggelembung keuanganku. Kalau tidak berhemat, aku bisa puasa berhari-hari nanti.

"Keuanganmu lagi krisis ya?"

Mengapa Ziddan bisa tahu? Apa jangan-jangan dia yang? Rasanya tidak mungkin tindakanya sejauh itu.
Aku tak menjawab pertanyaannya.

"Gimana tugas kantormu?" Tanya Ziddan lagi.

Aku menghela napas. Kemudian seorang pelayan mengantarkan pesanan kami.

"Aku kehilangan pekerjaanku."

Ziddan sepertinya kaget, mendengar aku kehilangan pekerjaan.

"Kenapa?" Tanya Ziddan.

Jangan tanya kenapa? Karena aku saja tidak tahu, mengapa aku dipecat.

"Ya, karena itu bukan perusahaanku. Kalau perusahaanku mereka yang kupecat." Jelasku.

Entah mengapa aku jadi teringat pak Idris. Apa dia, alasan dibalik pemecatanku ini? Meski waktu itu pak Rahardian mengatakan tidak. Tapi aku belum menyelidiki kebenarannya.

"Terus apa rencanamu selanjutnya?"

Ini pertanyaan yang sama, yang pernah dilontarkan Atha.

"Kenapa? Kamu mau memberiku pekerjaan?" Tanyaku balik ke Ziddan.

Ziddan tersenyum.
Senyum yang membuatku tak berdaya.

"Kamu boleh datang kekantorku jika butuh." Ucap Ziddan.

QIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang