PERJALANAN YANG MENEGANGKAN

3.4K 241 23
                                    

BAGIAN INI ADALAH HASIL  PERBAIKAN DARI BAB "SUARA SIAPA?". SEMOGA SUKA YA. TRIMAKASIH.

Hari ini begitu cerah. Secerah niatku untuk mengajak Atha ke acara resepsi pernikahan sepupuku di Pamulang. Sebenarnya aku belum mengatakan tujuanku untuk mengajaknya bertemu, itu yang membuatku deg-degan. Kalau tidak karena mama yang mendesakku, mana mungkin aku akan melangkah sejauh ini.

"Rani, mana orangnya kok belum datang?"
Sesekali mama mengibas-ngibaskan kipas.

Sinar matahari pagi ini terasa sedikit menyengat. Andai mama mendengarkan perkataanku tadi, tidak akan kepanasan ditepi jalan seperti ini. Sesekali aku melirik kearah jam tangan. Sudah setengah jam kami berdiri disini.
Bagaimana kalau Atha tidak datang?

Tidak berapa lama, sebuah mobil berhenti didepanku dan mama. Atha keluar dari mobil. Buru-buru aku menghampirinya.

"Sini." Aku Menarik tangan Atha, beberapa meter dari mobil.

"Berpura-puralah jadi pacarku." Ucapku berbisik.

"Apa?"
Atha membelalakkan matanya.

"Hanya hari ini saja! Kamu tau, dibelakang sana mamaku. Dia sangat senang kalau aku punya pacar."

"Rani buruan!" Teriak mama.

Sepertinya mama mencurigai aksi kami.

"Tapi..."

"Sudah! Kamu cuma jadi pacarku hari ini saja. Apa susahnya sih? Ini juga karena ada fotomu dihpku."

"Tapi itu..."

"Huussss..." Aku meletakkan jari telunjukku di bibir.

"Tidak ada tapi-tapian!" Sambilku menggeleng kepala.
Dan menarik tangan Atha mendekati mama.

Atha pun hanya mengikutiku. Sebenarnya dia kaget dan mendadak  bingung dengan situasi yang seperti ini.

"Ma, ini Atha."

Dengan canggung Atha bersalaman dengan mama.

"Saya Mamanya Qirani."
Senyum mama melengkung bagai bulan sabit.
Mama pasti sangat senang dan mengira Atha sebagai calon menantunya.

Mobil kami pun bergerak kearah Pamulang.
Aku duduk didepan bersama Atha, dan mama duduk dibelakang. Rasanya ada kamera cctv yang sedang mengawasi gerak-gerik kami dari belakang. Sedang Atha fokus mengemudi, ekspresi wajahnya seperti pertama kali aku melihatnya beberapa hari yang lalu, begitu flat.
Kalau diam-diaman begini saja, bisa curiga mama nanti?

"Sayang..." Ucapku lirih kurang meyakinkan.
Aduh, mengapa aku jadi mengeluarkan kata-kata itu. Semoga Atha tidak mendengar perkataanku tadi.

"Apa?"
Atha melihat kearahku, seolah dia kurang yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.
Rasa malu mulai menjalar kewajah, aku pun tak berani melihat Atha. Betapa rendahnya aku hari ini.

"Rani..."
Kata lembut yang keluar dari bibir Atha. Membuatku makin tak berdaya untuk melihat kearahnya.

"Iya.." Jawabku lirih.

"Barusan kamu bilang apa?"

Aku menoleh kearah Atha, sorot matanya seolah sedang menanti jawaban.

"Enggak, aku gak bilang apa-apa." Menggeleng kepala.
Bagaimana jika dia sudah mendengar ucapan ku tadi.

Suasana mendadak sunyi lagi. Dag-dig-dug jantungku berdetak kencang. Mengapa jadi begini perasaanku. Aku berusaha untuk rileks.

"Apa kamu baik-baik saja?"
Nada suara yang penuh perhatian terucap dari bibir Atha. Dua bola matanya menilik padaku dengan teduh.

"Mmm... Ya." Aku mengguk.
Sejujurnya aku merasa lunglai, mendapat perlakuan seperti ini dari Atha. Apa dia melakukan ini karena sesuai permintaanku tadi? Atau dia tulus? Mengapa aku jadi mempertanyakan itu semua?

"Kapan kamu mau melamar Rani, Nak?"
Pertanyaan mama benar-benar diluar skenario.
Tatapan mataku dan Atha saling beradu.

"Secepatnya Tante."

Jawaban yang sangat gampang terlontar begitu saja dari Atha. Senyumnya mengindikasikan, jika kami pasangan yang akan segera menikah.

"Panggil saja Mama. Bagaimana jika akhir bulan ini, kalian berkunjung ke Lampung untuk bertemu dengan ayahnya Rani?"

Aku melihat Atha dengan tegang, semoga dia tidak memberi jawaban yang akan mempersulitku nanti.

"Baiklah Ma."

Aku tercengang dengan jawaban Atha. Mengapa Atha bisa menjawab semudah itu? Jika semua ini dilakukan hanya karena kebohongan. Sorot matanya seolah mengajakku untuk menjiwai peran dalam sandiwara ini.

"Iya kan sayang?"
Ucapan Atha yang penuh kemesraan dan dibumbui dengan senyum manja kepadaku. Aku hanya menghela napas. Andai semua ini dilakukan dengan ketulusan, mungkin aku tak akan terbebani seperti ini. Melihat senyum mama yang begitu bahagia. Lalu apa jadinya, jika mama mengetahui bahwa semua ini adalah kebohongan.
Sorot mataku menjadi lesu, tulang belulangku rasanya rontok.

"Sayang."
Sapaan yang mesra itu, membuatku semakin lesu. Namun sentuhan tangan Atha membuatku bagai tersengat aliran listrik.

"Kamu baik-baik sajakan? Apa kamu sakit?"
Tangan Atha menyentuh keningku. Rasa kepeduliannya membuatku terjerembab dalam kubangan lumpur. Harusnya aku bahagia dengan aksinya yang perhatian itu, namun hatiku menolak. Andai semua ini adalah ketulusan hati Atha padaku, aku pasti bahagia.

"Aku baik-baik saja."
Aku menundukkan wajahku.
Harusnya aku sudah siap dengan semua ini.

Kami pun sampai ditempat tujuan, dengan sigap Atha membukakan pintu mobil untukku dan mama. Baiklah, aku harus mengabaikan tentang hatiku ini. Ini sudah terlanjur dijalani.

"Makasih sayang."
Ucapku, sesaat aku keluar dari mobil.

Mama melangkah lebih dahulu dari kami.

"Hari ini aku sangat bahagia."
Ucapan itu pun terpancar dari rona wajah Atha. Tatapannya penuh cinta. Sulit untuk ku memahami keadaan ini. Apa dia benar-benar menyukaiku?

"Ah pikiran apa ini!" Bisikku dalam hati. Aku pun melangkah mengikuti mama.

Atha pun berjalan disampingku, lalu menggandeng tanganku. Sepontan aku menoleh padanya. Rona bahagia itu tetap terpancar diwajahnya, tanpa menoleh kearahku.

"Apa ini bagian dari sandiwara kita?" Ucapku. Untuk meyakinkan diri ini, atas semua pertanyaan-pertanyaan yang muncul dibenakku.

"Aku suka melakukannya."
Tangan Atha makin kuat menggengam tanganku, memberikan kenyamanan dan menangkan hatiku. Aku hanya mampu menatap genggaman itu, genggaman yang membuatku tak berdaya. Aku ingin sandiwara ini tak berakhir, tetap bahagia seperti ini, tanpa harus menyadari jika ini hanya kebohongan.

QIRANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang