Pengharapan

71 2 0
                                    

Lika-liku kehidupan.

Mau tak mau aku tertawa sinis. Model-model rasa suka ambigu. Aku hampir-hampir tertipu dengan manisnya semilir angin. Aku ingin menampar keras-keras pipiku tapi apa salah pipi? Dia tak salah apa-apa dari semua keluguanku.

"Oh seperti itu..." Akhirnya aku mengangguk-angguk paham setengah kecut. Akhirnya modus mereka terlihat seiring berjalannya waktu.

Cukup tahu saja. Cukup mengerti saja. Mereka yang menebar harapan palsu hanyalah sang pengkalah. Tak usah pikirkan mereka. Mereka saja tak memikirkan kita.

Aku terlalu takut memikirkan sebuah hasil akhir. Coretan—coretan dinding perlahan-lahan penuh saja. Hasil aku meluahkan rasa kalut. Apakah ini lagi-lagi harapan palsu.

Oh. Aku jadi paranoid. Ilalang paranoid? Mana ada tumbuhan buruk paranoid. Apalagi sebutanku? Kurang percaya diri, paranoid, lama-lama aku bisa dibilang ilalang yang mudah depresi. Makin buruk saja perdu yang nyaris tak beguna ini.

Hei! Mana rasa optimisku? Kok lama-lama ilalang malah saingan dengan kerupuk. Itu loh panganan gampang lunglai. Lemas-lemas mengenaskan. Awalnya sok keren padahal sama sekali tak ada kemampuan.

Ilalang bukan kerupuk. Aku ilalang imjiger, tahan banting tahan api.

Tak tunduk aku terhadap petir dan guntur. Tak takut aku akan kilat sambar menyambar. Selama aku masih disini maka inilah aku! Aku masing mampu berjalan. Aku masih berangan-angan. Mata batinku masih menangis melihat belatung-belatung yang senggal-senggol di peti-peti sisa ampas manusia.

Ilalang lemah tapi tidak letoi!

Sepucuk SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang