Janji

118 2 0
                                    

Kata-kata selalu saja mudah mengalir.

Aku ingat akan sebuah janji. Janji seorang teman untuk mengirimkan selembar foto padaku. Bukan benar-benar dalam bentuk sebuah kertas, hanya berupa data digital tak nyata. Nol satu nol satu nol satu mungkin numberiknya. Selang beberapa minggu janji hanya merupakan ketikan-ketikan huruf yang merangkai menjadi kata-kata. Ilusi-ilusi kosong yang tak pasti. Dan pun semuanya hanya tinggal kenangan. Janji hanya permainan emosi.

Kulempar otakku pada sebuah memori manis tentang aku dan kumbang. Ketika berbohong kuminta padanya untuk jangan membenciku dan menerimaku. Dia mengiyakan dan tak apa dengan kondisiku. Menerima kenyataan aku jujur untuk berbohong padanya. Lagi-lagi ketika lidahku sudah terlalu kelu untuk berbohong, dia meninggalkanku. Walaupun dia kembali, itu hanya untuk sebuah keingintahuan tentang duniaku. Aku menghela nafas. Pertemanan memang aku inginkan tapi dia meninggalkanku sebelumnya membuatku sulit untuk menerima hubungan baru. Kenangan lagi-lagi menghambur bagai kabut.

Lalu aku menyipitkan kedua mataku pada janji-janji manis tentang prestasi dan kebanggaan. Setelah kugapai, semua janji hanya omong kosong. Bahkan yang kudengar hanya bentakan, tuntutan dan paksaaan untuk mendapatkan lebih. Aku tak mampu! Otakku bekerja mencapai batas maksimal. Mengapa mereka mencekokiku dengan angka-angka buruk itu? Aku benci angka; aku benci huruf-huruf yang berasal dari timur tengah itu; dan aku benci berpikir keras yang membuatku terbeban. Aku tertekan. Tak tahukah mereka? Tak sadarkah mereka? Aku hanya ilalang yang memiliki kapasitas rendah. Aku hanya mampu terbiasa dan tak mampu menemukan. Aku mengatakannya dan mengapa mereka tak mengerti?

Sehari ini aku telah menunggu tentang janji. Janji bersama jangkrik. Detik-demi detik kulewati sangat lama. Sialan jangkrik. Tahu itu hanyalah ajakan semu tanpa konfirmasi kepadaku bahwa kau akan meninggalkannya. Membatalkannya! Membuat pikiranku terganggu dengan perasaan-perasaan takut akan apa yang terjadi. Namun akhirnya aku bisa mengambil hikmah. Oh, si jangkrik tukang kibul; atau kerjaannya banyak sampai-sampai lupa aku; dan bahkan tidaak punya dana komunikasi. Kasian sekali.

Jangan memberiku janji-janji. Sungguh aku dipenuhi harapan palsu. Aku bahkan ingin selalu dalam khayalan bahagia. Begitu kata terucap yang aku tahu hanya mempercayainya. Bilang saja aku polos dan lugu. Demi janji-janji itu aku bertahan dalam sepi.

Aku pun pernah berjanji, bahkan sering. Namun aku tak mau memberi harapan palsu untuk semua janjiku. Mungkin adalah kalimat pamungkasku. Bagaimana bisa aku memberi pengharapan pada orang bila diriku sendiri tak mampu mengerjakannya? Walau hanya sebuah kalimat pembahagia aku tak ingin mengucapkannya. Aku capek mengungkap kata-kata klise. Aku letih memakai topeng senyum dan penuh kebaikan.

Berteriak saja; katakan saja aku pengecut atau penakut. Itu aku! Aku menepuk-nepuk dada keras-keras. Kalau bisa sampai jantung dan paru-paruku ikut rontok. Biar anggur brongkus berserak dan dapat dipanen. Aku yakin dalam bulatan-bulatan merah pekat itu tertumpuk ribuan titik kejenuhan dan kebosanan.

Aku tahu setelah ini aku dianggap pembenci. Tak mampu memaklumi kapasitas kerja orang lain. Namun kenyaaannya itulah aku. Tak usah grasa-grusu muluk-muluk. Bahkan wakil rakyat yang dituntut kesigapannya dalam mengayomi janji-janji.

Lalu aku hanya duduk menyepi dibawah kokohnya daun talas. Menunggu rintik hujan sambil menatap janji-janji yang larut dan mengalir bersama hujan.

Sepucuk SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang