Aku merindukan kumbang. Aku rindu pada kumbang.
Aku ingin menangis namun jangankan ada air mata, mata saja aku tak punya. Rasanya aku dulu tak seperti ini. Dulu aku mampu melihat indahnya kilap coklat pada tubuh sang kumbang. Kini jangankan melihat, melihat kabarnya pun aku tak bisa.
Aku hanya ilalang. Ingat aku pada masa-masa penuh tawa dan canda. Saat-saat apa yang kuucap penuh dusta. Aku bahkan mengaku sekuntum raflesia padamu. Berkali-kali aku mengatakan padamu, semua yang kuucap padamu semu dan kau tetap bersamaku. Nyata kutahu, semua itu hanyalah pemanis buatan. Berkali-kali aku meyakinkan pada tubuh ringkihku bahwa senyummu semu tapi otakku tetap saja menampik. Berkali-kali otakku mengatakan kau pasti mengerti mengapa aku harus begini.
Siapa aku? Aku hanyalah ilalang.
Aku menceritakan kehidupanku padamu tapi aku membohongi tentang diriku. Aku bercerita tentang keluargaku tapi aku tak menceritakan siapa aku. Apa yang kugumamkan berkali-kali pada telingamu? Hanyalah betapa aku kagum padamu. Aku menyukaimu.
Kesempatan. Aku mungkin menyesal pada waktu dan pada kenyataaan. Mengapa? Karena mereka berdualah aku telah kehilangan akal sehatku. Bukan, aku bukan bermaksud menyalahkan mereka berdua. Sayang sekali aku malah aku selalu mensyukuri tentang hari itu. Bahkan hari ini aku selalu tersenyum penuh syukur, berdoa semoga kumbangku mendapatkan kehidupan lebih baik dari sekedar bersama ilalang ini. Ah... bahkan aku masih menganggapnya adalah milikku. Dia tidak pernah kumiliki sendari awal karena akulah pihak antagosnisnya.
Terkadang aku berfikir, apa yang membuatku menyukai sang kumbang. Bahkan mata rabun ilalangku tak bisa melihat rupa aslinya. Apa karena dia berbeda? Apa karena ia terlalu jujur? Apa karena pemikirannya yang polos dan bahkan nyaris terlalu gamblang? Aku nyaris tak tak ingat kapan aku mulai memasukkan sedikit demi sedikit tubuhku dalam perangkap fatamorgana egoku sendiri.
Apa canda tawa itu palsu? Apa rasa sedih itu palsu? Bisa saja! Siapa sih aku? Aku hanyalah ilalang.
Kepalaku tertengadah menatap langit. Kapas-kapas putih mengalun bagai melodi di atas kepalaku. Angin lembut mengalirkan gemericik melodi. Aku tak ingat ada warna biru disana sampai saat ini. Oh ya, kenyataan aku sedang merindukan kumbang membuatku menatap langit. Sebuah tawa kecil menyelinap dari sela-sela lidahku. Hei! Aku saja tak yakin itu sebuah lidah. Anggap saja begitu.
Ilalang sepertiku sepertinya harus berpindah seperti yang sering kudengar dari remaja-remaja yang sering melewatiku. Apa ya istilahnya? Move on ya?
Haah... kutarik nafas panjang. Akhirnya aku hanya bisa bernafas panjang. Walau hatiku mengatakan berkali-kali aku merindukan kumbang aku tak ingin menggapainya lagi. Toh aku kan yang memutuskan menyakitinya. Pasti sakit sekali dibohongi. Biar saja dia terbang kemana saja. Walau aku tak lagi mendengar kabarnya, walau aku tak lagi mendengar bisikan-bisikan cerita tentang dia aku bahagia. Bahagia karena aku mampu melepaskannya.
Ego dan emosional. Sensitif sekali. Ilalang mana boleh punya waktu bersedih. Ilalang toh bukan perdu penting. Cukup sekali sebatang ilalang menangis karena perasaan semu. Aku jadi ingat perkataan yang membuatku tertohok. Seperti senjata makan tuan.
"Ketika cinta datang kau akan sering menangis dan tertawa. Kau akan sering merenung. Dan cinta sejati adalah cinta yang mendewasakan dirimu. Maka relakanlah mereka-mereka yang sempat memberikanmu cinta, karena merekalah yang membuatmu semakin matang. Lepaskanlah walau mereka telah memberimu kebahagiaan dan kesedihan disaat bersamaan. Karena cinta bukan barang abadi, namun rasa butuh, kasih sayang dan saling tenggang rasa akan menggantikan tempat cinta saat sosok sejati menghampirimu."
Sebatang ilalang yang merindukan kumbang. Aku memang merindukannya. Aku tak mengingkarinya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepucuk Surat
RomanceApakah aku? Aku hanyalah sebatang ilalang yang mencoba menerjang angin.