Homesick

33 1 0
                                    

Aku teringat burung-burung gereja yang berebut padi yang di jemur di atas lapangan yang telah dicor semen. Mereka mampir bergerombol, lalu menempati posisi masing-masing mengantuk-antukkan paruhnya pada biji-biji padi. Kala sang penjaga datang mambawa plastik kresek besar dan memburu mereka dengan bunyi-bunyian berisik maka kumpulan burung gerejapun membubarkan diri. Hanya untuk sementara memang, sebagian terbang ke kabel-kabel listrik, ada yang hinggap di pohon dan ada pula di genteng seng. Tidak ada diantara mereka yang benar-benar pergi. Mencari sesuap padi tidaklah mudah.

Aku menuruni tempat menjemur padi melewati jalan setapak. Mataku terperangkap pada batang-batang buah coklat. Buah berkulit kuning kehijauan ketika ranum ,namun berwarna merah marun seperti warna kesukaanku ketika masih mentah. Ada dahaga di kerongkonganku membuat tulang-tulang leherku berkontraksi. Namun aku memejam, si empu belum datang. Mencuri buah coklat satu lalu berakhir sakit perut dan membenam diri di bed rumah sakit gara-gara do'a tidak ikhlas sang pemilik adalah hal konyol yang tak masuk dalam cacatan kelakuanku. Lagi-lagi aku menyusuri jalan kecil itu.

Celah mata menangkap pagar besi berwarna hijau muda dengan tembok berwarna putih. Ada parit kecil didepannya. Lalu halaman kecil berisi tanaman simple. Aku ingat ada pohon jambu biji dulu, namun berganti dengan tanaman bunga. Teras berkeramik putih senada dengan warna dinding. Lagi-lagi ada warna hijau alpulat disana.

Diseberang sebelah kanan, gang kecil menuju rumah tetangga. Dipinggir jalan tumpuh perdu berbuah kecil. Ada tumpulan pasir disana. Batu kerikil juga.

Apa kabar dengan nenek bertubuh tinggi itu? Benar juga, nenek baik hati itu telah kembali. Kemana lagi bocah-bocah bila ingin meminta tebu? Atau alpukat ketika matang? Atau buah japan berair merah yang katanya menambah darah? Atau sekedar bermain di halamannya yang luas?

Ringkik kuda tak lagi terdengar. Kandang kuda itu masih disana mungkin, disebelah kebun si nenek. Tapi geraman-geramannya tak lagi menyusupi telingaku. Indraku semakin jauh.

Mana rumah berpagar hijau itu?

Rumah sepi tak berpenghuni dari pagi hingga petang. Penghuninya pergi dari sebelum terbit matahari hingga matahari sore kembali keperaduannya.

Malamnya juga sepi. Ada suara tivi, ada suara anak mengaji, ada bunyi gesekan kertas, ada suara anak menghafal. Sepi sekali. Larut dalam komunikasi sendiri.

Kukerjapkan mataku berkali-kali. Gambar itu memudar. Aku hanya ilalang di dalam kotak kuning pudar ditemani kotak hitam bercahaya putih saat kusentuh.

Tawa hangat gadis kecil dan diamnya si tengah. Kusayat hatiku berkali-kali, semua hanya ilusi.

Deru-deru mesin penghancur buah menjadi potongan-potongan kecil dikala suara azan isya belum berkumandang. Aku menutup telingaku.

Dentang kuali beradu diiringi aroma masakan membuat cacing-cacing perut manusia tak berdiri tenang didalam lambung. Hidungku pasti sudah gila.

Mesin air tua membangunkanku di kala azan subuh selesai berkumandang. Kutarik selimutku menutupi kepala dan berteriak dalam benakku aku tak disana.

Harmoni itu telah meredup dan menjadi kenangan.

Ah! Kepalaku panas. Aku butuh tidur lebih lama malam ini.

Sepucuk SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang