Dua Mata Pedang

83 2 4
                                    

Kasar. Dunia itu kasar  .

Mulut-mulut pedih itu menyambar bagaikan jilatan api. Meraung-raung bahkan lebih buruk dari suara sirine ambulan. Memekakkan dan menyakitkan. Dua sisi mata pedang menyerang bersahutan. Satu kata terbesit dalam otakku, bodoh.

Nyonya-nyonya berlarian memiting lidah-lidah lalu aku terpekur pada sindiran-sindiran beracun itu. Sungguh mereka membuatku takjub. Disatu sisi aku ingin menangis saja dan berlari pada Beruang madu agar aku bisa tenang senyap dalam gelimangan cairan manis punya sang Lebah namun disisi lain Hyena betina membelitku dengan daging.

Aku ilalang omnivora, teman. Setali dua tali aku bisa meraihnya. Namun hati berteriak dan memberontak meminta nurani. Mana lagi yang bisa aku pertaruhkan? Mana lagi yang bisa kupegang. Aku ingin bersama keduanya, baik Beruang maupun Hyena. Mereka sama-sama kusayang tapi nyatanya mereka tak bisa bersatu.

Lain kali Beruang menyerakkan madu-madunya sebuah jamuan apik. Menata kantong-kantong berisi cairan lengket itu. Para makhluk kehausan menyantap hidangan istimewa. Dan apa yang aku lakukan? Aku hanya ilalang. Ketika aku diundang dan menjadi tamu kelas nyamuk yang kulakukan tersenyum sambil berucap santun.

Pertanyaannya cuma satu, apa aku sudah menjual harga diri? Atau hanya sekedar basa-basi. Tidak. Aku tak melihat Beruang dengan tatapan mati suri apalagi melempar panah. Madu-madu adalah wujud rasa syukurnya. Walau sesekali ia meraung dan menunjukkan taring namun inilah rasa kebaikannya. Madu-madu dan kemurahan hati.

Bagaimana dengan Hyena? Sedikit sosok keibuan dan kasih sayang bermiang tak membuatku salah kaprah. Dia mengungkapkan semua dengan gayanya sendiri.

Lari.

Aku hanya ingin berlari dari daerah hitam ini. Aku hanya ingin berdiam diri dan menyepi. Namun lagi-lagi langkahku terkukung rantai-rantai norma. Aku hanyalah ilalang. Bukan Harimau yang mengaum garang atau Singa si Raja Rimba.

Ingin kumenepi dan melempar sekelumit rasa sesak yang menyumpal keras di dadaku. Akhirnya apa? Bola-bola pahit itu harus kutelan lagi. Jangan pikirkan apakah mereka mampu melewati mulutku. Jawabannya tidak! Tentu saja ini pemaksaan sadis.

Akhirnya apa sih yang aku dapatkan? Rasa remuk. Pengkhianatan. Rasa percayaku mengabur bersama asap yang mengambang. Bodoh sekali memang. Beruang yang kuanggap sebagai tempat mengadu mencakarku tepat dimuka dan menampar benih-benih ilalang. Sungguh mengecewakan.

Lalu dengan Hyena, aku akan menjaga jarak. Alih-alih aku memanfaatkan dia, lebih baik aku menancapkan rumpunku dalam-dalam. Biar saja aku sendiri asal hati tidak meraung tak puas.

Gerak kaku lamat-lamat mengukungku dalam sepi. Tak apa. Tak apa. Tak apa.

Kusampaikan gerak-gerik hati ini pada angin, pada sinar matahati dan pada air yang mengalir.

Sepucuk SuratTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang