Chapter 20 -END-

306 14 9
                                    

Hujan pagi mengguyur kota, menghiasi suasana pemakaman yang dibungkus kesedihan. Payung-payung hitam dikembangkan.

Tanah yang masih terlihat merah, menandakan seseorang yang baru saja selesai ditempatkan diperistirahatan terakhirnya.

Semua orang terlihat khidmat berdoa. Sesekali suara isak tangis terdengar. Selesai berdoa, semua segera pergi meninggalkan pusaran dengan perasaan terpaksa dan tak rela.

Ucapan berduka dan penyemangat selalu terdengar dari semua pelayat yang datang. Tapi tetap saja, kehilangan seorang yang sangat disayang rasanya begitu menyakitkan dan sulit untuk diobati.

Adrian duduk termenung di kursi teras pekarangan rumah Fanessa. Matanya menerawang ke masa lalu. Dimana ia masih bisa melihat Fanessa yang selalu tersenyum, Fanessa yang selalu tertawa dan Fanessa yang selalu ia cintai.

Semua serasa berlalu begitu cepat. Masa-masa indah yang singkat namun akan selalu diingat selamanya.

"Hiks.. hiks.."

Adrian menundukan kepalanya, setetes air mata kembali lolos mengalir dari matanya. Sungguh, ini terasa begitu... sulit untuknya. Ia tak yakin akan mampu menjalani harinya tanpa kehadiran Fanessa.

Apa yang selama ini aku lakukan padanya? Pertama bertemu saja aku sudah menyakitinya. Bahkan membuatnya menangis.

Aku belum membuatnya bahagia. Aku selalu memberinya rasa sakit. Laki-laki macam apa aku ini? Dasar brengsek!

Sebuah sentuhan lembut membuatnya mengangkat kepalanya. Ibu Fanessa, dengan mata yang masih sembab menyodorkan sebuah kotak kecil.

"Ini, dari Fanessa..."

"Makasih tante.."

"Kalau begitu, tante kedalam dulu ya. Dan juga, tante sangat berterima kasih, karena kamu sudah mau menemani Fanessa selama sisa hidupnya. Kamu juga yang selalu ada buat Fanessa saat dia lagi sedih... tante... sangat sangat berterima kasih sama kamu..."

Adrian hanya tersenyum. Kemudian ibu Fanessa segera pergi. Dalam hati, Adrian tersenyum kecut.

Membahagiakan apa? Aku hanya dapat memberinya rasa sakit...

Ia memperhatikan kotak itu dan membukanya. Sepucuk surat tersimpan dalam kotak itu, juga sebuah... gelang. Gelang yang sama yang selalu digunankannya. Ya, gelang yang Fanessa berikan.

To. Adrian

Hi Adrian!
Adrian... Adrian Prasetya...
entah sampai kapan aku masih bisa memanggil namamu. Entah sampai kapan aku masih bisa berada disampingmu. Entah sampai kapan aku masih dapat melihat senyummu lagi, entah samapai kapan aku dapat menggenggam tanganmu seperti saat senja itu. Entah sampai kapan aku masih bisa melihatmu. Ya.. walau aku tahu itu tak akan lama lagi.

Adrian...
Hah.. aku berharap kamu tak akan pernah membaca surat ini. Karena, jika kamu sudah membacanya, berarti.. hush.. aku sudah pergi.

Aku hanya ingin berterima kasih atas kehadiran kamu dalam hidupku. Kamu tahu? Sejak awal kita bertemu.. jujur saja aku sudah mulai tertarik. Entah karena fisik kamu atau karena sifat dingin kamu.

Seringkali aku menangis jika mengingat penyakitku dan.. kamu. Ya, aku takut. Aku takut berpisah denganmu. Tapi, benar kata Bang Tasdieq, semua tak akan terasa menyakitkan jika aku terus bersama dengan orang-orang yang menyayangiku. Apa kamu menyayangiku? Haha... pertanyaan bodoh apa itu?

Adrian..

Aku mencintaimu...

Aku sungguh-sungguh ingin mengatakan itu, tapi aku malu. Mungkin surat ini yang dapat mewakili perasaanku. Tak apa jika kamu tak mau tahu tentang perasaanku, aku hanya ingin.. ya.. kamu mengetahuinya.
Terima kasih ya.. untuk waktunya. Meski singkat tapi itu sangat berarti untukku...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Special MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang