Dream #15

82 10 7
                                    

Gadis yang mengenakan baju berwarna biru itu tengah duduk terdiam di balkon kamarnya. Ia memutar kembali otaknya pada memori tiga tahun yang lalu. Dimana ia bertemu dengan seorang Lu Han yang menyebalkan.

Ia tersenyum kecut saat mengingat Lu Han begitu ingin memilikinya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa ia begitu membenci Lu Han.

Padahal jika dipikir-pikir lagi, Lu Han itu laki-laki yang baik. Ia juga perhatian dan sangat menyayangi Chan Ra. Ia selalu menjaga Chan Ra setiap saat.

Chan Ra tersenyum kecut lagi kala mengingat pertengkaran-pertengkaran yang pernah terjadi antara Ia dan Lu Han. Sebenarnya Ia sendirilah yang memicu pertengkaran itu terjadi, Ia yang tidak penurut. Karena pikirnya saat itu ia masih belum mempunyai rasa untuk Lu Han. Lalu sekarang?

Chan Ra memutar kembali otaknya. Ia terkikik mengingat rayuan-rayuan Lu Han yang dilayangkan untuk mengambil hati Chan Ra. Lu Han yang tidak pernah berhenti berpaling darinya. Lu Han yang mencintainya setiap saat. Lu Han yang setia menunggu seorang Park Chan Ra. Lu Han yang selalu berjuang membuat Chan Ra jatuh hati padanya. Lu Han yang menjadikannya pedoman hidup.

Chan Ra tersenyum begitu manis kala membayangkan wajah Lu Han yang selalu muncul di depannya. Apa Ia mulai menyimpan rasa?

"Kau memikirkan Se Hun?" pertanyaan secara tiba-tiba yang membuyarkan lamunan Chan Ra. Lu Han berdiri di belakangnya.

Gadis yang sedang duduk menatap pemandangan kota itu hanya diam. Ia menatap lurus ke depan.

Jujur saja, Ia ingin memukul kepala Lu Han agar berhenti menuduhnya. Gadis itu merasa muak. Kenapa Lu Han tidak bisa mengerti? Mengerti tentang perasaan Chan Ra begitu?

"Apalagi sekarang? Kau memikirkan kisah cintamu yang tragis?"

Tak hentinya Lu Han memojokkan Chan Ra. Gadis bermata bulat itu geram. Ia menggertakkan giginya marah.

"Berhentilah. Aku benar-benar tidak ingin membahas ini," ucap Chan Ra dengan nada dingin yang menusuk. Lu Han tersenyum sinis.

"Ya, ya. Sebaiknya kau lupakan tentang perasaan yang tidak berguna itu dan mulailah memikirkan ku," Lu Han tertawa senang.

"Kemarilah," pinta Chan Ra sambil menengok Lu Han.

Lu Han berhenti dari aksinya tertawa. Ia mengangkat sebelah alisnya. Tapi kemudian Ia berjalan mendekati Chan Ra dan duduk di sebelahnya.

"Ada apa?" tanya Lu Han dengan raut wajah penasaran. Jarang sekali Chan Ra seperti ini.

Pletakk~

"Aww~"

"Aku ingin memukul kepalamu," Chan Ra sukses melayangkan pukulan di kepala Lu Han membuat Lu Han mengaduh kesakitan karena pukulannya cukup kuat.

"Kau ingin aku amnesia!?" hardik Lu Han. Ia kesal karena Chan Ra jahat padanya.

"Itu jauh lebih baik," tak sedikitpun Chan Ra menatap Lu Han. Membuatnya memanyunkan bibirnya ke depan.

"Chan Ra," panggil Lu Han dengan suara lembut.

"Hm," sahut Chan Ra hanya dengan deheman. Ia masih menatap lurus ke depan.

"Will you marry me?"

.

"Silahkan dua mempelai berciuman," ucap seorang pendeta yang baru saja menyatukan sepasang insan yang berdiri di depannya.

Pria tampan dengan balutan tuxedo di tubuhnya bergerak menghadap seseorang yang baru saja menjadi istrinya. Ia menangkup wajah gadis cantik di depannya dan mulai mendekatkan wajahnya. Ia tersenyum begitu manis.

"Aku mencintaimu," bisiknya tepat di samping telinga sang pujaan hati.

"Aku juga mencin-"

Byurr~

"Cepat bangun Park Chan Ra! Apa kau ingin terlambat kuliah hah?!!"

Suara nyaring seorang wanita paruh baya begitu memekak di telinga gadis yang berusaha membuka matanya. Ia menggerutu kala ibunya menyiram wajahnya tanpa dosa.

"Ibu menghancurkan mimpi indahku."

Chan Ra mempoutkan bibirnya kesal. Ia mengelap wajahnya yang basah kuyup akibat siraman air dari sang ibu tercinta.

"I don't care about your dream. Sekarang cepat mandi dan segera turun," titah Ny. Park dengan suara melengking. Lalu ia melangkahkan kakinya pergi dan menutup pintu kamar anaknya dengan sedikit keras. Ia jengkel karena sudah satu jam membangunkan putri kesayangannya tapi Chan Ra tetap pada dunia mimpinya. Alhasil ia menyiram putrinya. Masa bodo yang penting anaknya bangun dan tidak larut dalam mimpi indahnya.

"Ternyata hanya mimpi."

Chan Ra menyandarkan tubuhnya dan kembali mengingat mimpi panjangnya. Ia tersenyum kecut. Kemudian ia melangkah ke kamar mandi.

Setelah beberapa menit berkutat di kamar, Chan Ra pun keluar dan menghampiri ayah ibunya yang sudah menunggunya dengan sabar.

"Bermimpi indah?" tanya sang ayah sambil membelai rambut putri manisnya.

"Hm~ begitulah. Oh, apa itu ayah?"

Tatapan Chan Ra terfokus pada sebuah kartu seperti kartu undangan di depan ayahnya. Matanya menelisik ingin tau siapa pengirim undangan tersebut.

"Oh, ini dari rekan kerja ayah. Kartu undangan putranya yang akan bertunangan minggu depan."

Ayahnya mengangkat kartu tersebut dan menatapnya sebentar.

"Ada satu untukmu."

Tn. Park menyodorkan sebuah kartu untuk Chan Ra.

"Untukku? Apa aku mengenal putranya?"

Chan Ra merasa bingung kenapa ia juga diundang.

"Kurasa begitu. Buka saja dan lihat namanya, siapa tau kau memang mengenalnya," titah ayah Chan Ra dan menyeruput kopinya.

Tanpa basa-basi Chan Ra membuka kartu itu dan melihat nama mempelainya.

Jderr~

Seperti tersambar petir, Chan Ra membulatkan matanya dan tubuhnya menegang. Ia melihat nama seseorang yang mencuri hatinya tiga tahun belakangan ini tercetak jelas di depan matanya.

Dan oh shit, siapa calonnya. Sung Ha In si ketua kelas yang sombong itu. WHAT!! Chan Ra mendelik. Sejak kapan Lu Han berkencan dengan gadis menyebalkan itu. Benar-benar diluar dugaan.

Chan Ra patah hati untuk kesekian kalinya. Lu Hannya akan bertunangan. Lu Hannya akan menjadi milik orang lain.

"Kudengar mereka dijodohkan," ucap Ny. Park membuyarkan lamunan Chan Ra.

"Oh," Chan Ra hanya ber-oh ria menanggapi ucapan ibunya.

"Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kau mengenal mereka," sahut Tn. Park sambil melirik putrinya sekilas.

"Hm, ya. Mempelai wanitanya ketua kelasku," jawab Chan Ra dengan nada pelan.

"Kau harus memberi selamat" titah Ny. Park yang tidak menyadari perubahan sikap putrinya. Chan Ra hanya diam mengacuhkan ibunya.

'Untuk apa memberi selamat, tidak penting,' batinnya.

Chan Ra terluka. Cinta nya akan menjadi milik orang lain. Ia tak akan bisa menggapai pujaan hatinya lagi. Sudah tidak ada harapan untuknya. Ia tak akan bisa berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya tersenyum kecut memikirkan kisah cinta nya yang tragis.

'Saat cintaku tak terbalas, hanya ada kepalsuan untuk bisa menghiburku saat ini. Seperti mimpi indahku kemarin.'

END

DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang