PendekarBodoh

11.9K 36 1
                                    

Di sebelah barat kota Tiang-an, di luar tembok kota dekat hutan pohon cemara, terdapat sebuah kuil tua yang temboknya sudah banyak yang rusak dan warna tembok itu tidak karuan lagi. Tapi huruf-huruf yang ditulis di dinding dan bermaksud sebagai puja-puji kepada dewata berbunyi“Lam Bu 0 Mi To Hud” masih dapat terbaca, demikian pula merk bio (kuil) itu yang dipasang di depan pintu luar dan berbunyi“Ban Hok Tong” atau“Kuil Selaksa Rejeki.”

Pada siang hari yang sunyi itu terdengarlah suara orang mengajar ilmu membaca dari dalam bio dan kadang-kadang terdengar suara pendeta membaca liamkeng (doa). Karena suara pendeta berliamkeng bukan merupakan hal aneh lagi, maka yang menarik perhatian adalah suara guru sastera yang tinggi parau itu, dan kadang-kadang dijawab oleh suara seorang kanak-kanak yang nyaring dan bening.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-ya...!” terdengar penuh kegemasan dan tidak sabar.

“Tahu, tahu...” suara anak kecil itu cepat menjawab, “Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!”

“Bagus! Tapi, tahukah kau siapakah yang dimaksudkan saudara itu?”

“Siapa, Sian-seng (Pak Guru)?? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara,” terdengar jawab ketolol-tololan hingga guru itu memukul meja.

“Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian persaudaraan yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah rasa persaudaraan berdasarkan perikemanusiaan, tahu?”

Suara anak itu menandakan bahwa ia masih sangat kecil, mana bisa ia menikmati “makanan rohani” yang berat ini. Maka terdengar jawabannya takut-takut, “Hakseng (Murid) tidak mengerti, Sian-seng.”

“Memang kau tolol, bodoh, dungu seperti kerbau! Mengajar kau tidak bisa dengan mulut saja, harus dengan tangan. Nah, kaurasakan ini supaya mengerti!” Lalu terdengarlah suara tamparan, tapi sedikit pun tidak terdengar pekik kesakitan walaupun kalau orang menjenguk ke dalam akan melihat betapa seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun telah ditampar sampai merah pipinya. Anak itu menggigit bibirnya.

“Nah, sekarang kausebutkan ujar-ujar yang kemarin telah kuterangkan padamu.” “Ujar-ujar yang mana, Sian-seng? Kemarin kita mempelajari banyak sekali ujar-ujar,” jawab murid itu.

“Ujar-ujar yang ke tiga.”

Sunyi sebentar, lalu terdengar suara anak itu lantang, “Janganlah kau perbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!”

“Bodoh, itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin dulu, bukan kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar ini saja! Agaknya hanya ujar-ujar yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras itu.”

“Memang hak-seng paling suka kepada ujar-ujar ini, Sian-seng,” jawab anak itu yang tiba-tiba menjadi berani.

“Mengapa begitu?”

“Harap Sian-seng terangkan dulu apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu itu baik dan betul?”

“Tentu saja, tolol! Kalau tidak baik dan betul tak nanti dipelajari orang sedunia.”

“Kalau begitu, apakah Sian-seng suka kalau kutampar mukamu?”

“Apa katamu? Kau... kau bangsat....”

“Sian-seng tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar, bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?”

Untuk beberapa saat tak terdengar suara apa-apa seakan-akan guru itu tercengang, tapi kemudian terdengar ia memaki kalang kabut. Dan pada saat itu di luar kuil terjadilah hal-hal yang lebih hebat lagi.

Seorang hwesio (pendeta) gundul yang bertubuh tinggi besar dengan sepasang mata bundar menakutkan dan lengan tangan yang besar berbulu, entah dari mana datangnya, berhenti di luar kuil dan ia menurunkan sebuah keranjang rotan besar sekali yang tadi dipanggulnya. Ia lalu duduk di atas keranjang itu sambil melihat ke arah pintu kuil dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dari dalam pintu kuil itu keluarlah tiga orang-orang tua yang juga pendeta-pendeta penganut Agama To (Tosu) yang memelihara rambut dan rambut itu digelung ke atas dan diikat ditengah-tengah. Tiga orang tosu itu juga aneh karena yang seorang tinggi kurus bertongkat kayu cendana, yang ke dua pendek tapi gesit sekali gerak-geriknya, sedangkan yang seorang lagi tinggi besar dan bercambang bauk yang menyongot ke sana-sini, berbeda dengan dua orang kawannya yang berjenggot putih panjang dan halus.

serial kho ping hoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang