Bunga di Taman Hati, BDTH Bagian 3 [18+ PROMO]

Bunga di Taman Hati, Bab 4

21++

----------------

Ian

"Sialan!"

"Bajingan!"

"Sialan!"

"Damn!"

"Terkutuklah aku, Rey..."

Aku panik dan membenci diriku.

"Reyy... " Aku marah, kecewa, kesal. "Maaf..."

Aku terduduk di tepi ranjang, tanganku meremas rambutku, sikuku bertumpu pada lututku. Dan kami masih sepenuhnya telanjang.

"Maaf, Rey...." Aku tak sanggup menatapnya. "Aku lupa..."

Dia bangun dan menyentuh bahuku. "Rey ngga ngerti, Pak..."

"Maaf... aku merusak semuanya lagi..."

"Apa, Pak...? Rey ngga ngerti. Jangan gitu dong.... Rey tambah bingung nih."

Aku memang lelaki bodoh tak berguna. Aku yang seharusnya menenangkannya, sekarang malah aku yang membuatnya semakin bingung.

Kutatap matanya, memohon maafnya. "Aku lupa pake kondom." Suaraku memelas. Aku seperti terdakwa yang siap dihukum mati. Aku ingin kembali meraung.

"Kondom...??"

"Iya, Rey... maaf...." Aku mengiba memelas.

"Itu doang..??"

"Kok Rey ngga marah...??"

"Rey harus marah kitu..?" Wajahnya semakin bingung.

"Maaf, Rey... aku tadi lupaaa...." Aku ingin merengek seperti anak kecil.

"Ya udah, kalo gitu, pake aja sekarang, gitu aja kok repot."

Ganti aku yang terperangah.

"Rey...???" Mataku mendelik.

"Ya udah. Pake aja."

"Kamu ngga tau kondom buat apa?"

"Emang buat apa, Pak?"

Aku jatuh telentang. Pasrah. Kututup wajahku dengan lenganku.

"Bapak kenapa?" Dia mulai panik kembali.

"Rey..." Kutatap dia. "Kapan periode kamu.?"

"Periode...??"

"Mens, haid, menstruasi, tamu bulanan."

"Ih, Bapak mau tau aja. Kepo deh. Rahasia keless..."

"Rey! Aku serius...." Aku seperti mulai terisak.

"Eh, penting ya?"

"Banget."

"Seharusnya sih minggu-minggu ini."

"Tepatnya??" cecarku.

"Sabtu atau Minggu ini deh."

Kututup wajahku dengan kedua belah tanganku. "Thank, God." Aku benar-benar bersyukur. Aku menarik napas lega. Lega sekali.

"Kenapa gitu, Pak?"

"Nanti aja aku kasih tau." Aku bangun. "Sini Rey, aku belum selesai bersihin kamu."

"Rey mau mandi."

"Yuk. Aku mandiin."

"Ihh... ngga mau ah."

"Kenapa?"

"Malu...." Wajahnya memerah.

"Malu...?"