Ian
Nia terkejut melihat penampakanku. Kutahan dia ketika dia bergerak ingin mengobatiku.
"Ngga usah, Ni. Aku mau pergi lagi kok."
"Abang mau ke mana? Nia obatin dulu."
"Ngga usah. Aku sudah minum obat."
Kuajak Rey duduk di sofa ruang tamu. "Sayang." Kutelan ludahku. Dadaku semakin nyeri. "Rey... Rey di sini aja ya.... Rey ngga mungkin ... tinggal di Bandung ... kalo Aa ... kaya gitu.... Aku aja ... yang pergi ... Ada Nia yang ... nemenin..."
Kupejamkan mataku. Menahan sakit. "Rey jangan telat makan ya... kalau perlu apa-apa ... minta Nia aja."
"Aku pergi, Rey." Aku sungguh-sungguh tidak ingin meninggalkannya. Aku ingin menjaganya, seumur hidupku. "Aku mencintaimu, Rey."
"Ni, titip Rey. Kabari aku kalo ada apa-apa."
"Bang Ian mau ke mana?" suaranya cemas sekali. "Abang sakit begitu."
Aku hanya tersenyum pedih. "Aku ngga apa-apa. Titip Rey aja. Makasih ya, Dek."
Dia mengantarku sampai pagar, dan ketika aku berbelok di sudut jalan, kulihat dia masih berdiri mematung di sana ditemani kecemasannya.
***
Malam di puncak kegelapannya ketika aku tiba di apartemen. Aku sangat bersyukur bisa sampai di sini. Itulah titik tertinggi adrenalinku. Adrenalinku tidak cukup mengantarku sampai ke ranjangku. Aku terjatuh di lantai kamar. Kurasakan lensa kacamataku yang patah jatuh terlepas dari frame-nya. Lalu aku melayang, menembus awan.
***
Rey
Aku masuk kamar dan langsung terjun ke tempat tidur. Kubiarkan dia memanggilku. Kalau dia menepati janjinya kali ini, dia seharusnya tidak menerobos masuk. Dia harus menghargai privacy-ku. Aku ingin sendiri. Aku benar-benar marah padanya. Aku tak tahu apa yang kuinginkan sekarang. Emosi menguasai jiwa. Aku merutuki dia yang membuatku begini. Aku terus merutukinya sampai aku jatuh tertidur.
Kamar ini nyaman sekali. Jendelanya yang besar juga menyajikan pemandangan gunung. Kubuka jendelanya lebar-lebar. Ini seperti liburan. Rumah ini seperti vila. Hanya kurang gadget-ku saja. Tidak ada ponsel, tidak ada laptop. Aku seperti orang tersesat di hutan.
Aku berusaha melupakan marahku padanya. Tapi aku sungguh-sungguh masih kesal.
Matahari bergerak ke barat ketika secarik kertas masuk di bawah pintu.
Ahaa...
Dia berusaha menghubungiku.
Aku terkejut membaca suratnya. Seserius itukah urusan ini buatnya? Aku memang marah, marah sekali. That's all. Tapi biarlah, biar dia tidak selalu memaksaku. Aku berpikir, apa yang kumau? Aku butuh ponselku, aku juga ingin break sebentar.
Tapi aku tersentak ketika membuka pintu, badannya jatuh telentang. Aku tak tahu kalau dia bersandar di pintu. Sepertinya dia sakit.
Dia mengantarku. Tanpa bicara. Tanpa usaha untuk menahanku di sini. Apa dia juga marah? Apa dia sudah bosan denganku? Tangan kanannya bersandar di jendela mobil dan berkali-kali kulihat dia memegang dahinya. Dia terlihat pucat. Tapi kebisuannya membuatku takut. Apa yang sudah kuperbuat? Kenapa aku harus takut? Toh dia yang egois. Aku tak ingin dia selalu memaksaku.
Ketika kami sampai, aku ingin langsung ke kamarku, tapi tangan Aa menahanku. Emosiku benar-benar sampai ke kepala. Kenapa sih, semua membelanya? Bahkan kakak yang selalu membelaku, jika berhubungan dengan dia, selalu aku yang disalahkan. Selalu aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Taman Hati, BDTH Bagian 3 [18+ PROMO]
RomansaTadaaa.... Ian's comingggg... aaahhh... #apaseh #plak Ini bagian ketiga Bunga di Taman Hati. Roller coasternya ian. Komen dari yang udah pernah baca, dari tiga bagian BDTH, ya bagian ini yang paling seru. Apalagi bab nya abis di part yang ngeselin...