Another Sins

882 58 19
                                    


Aga memijat-mijat keningnya yang pening. Jam menunjukkan pukul 20.30, sudah sekitar dua jam sejak sholat maghrib tadi dia belajar dan konsentrasi pada materi yang sedang ia bahas tanpa guru. Ini telah menjadi kebiasaannya. Satu persatu materi dia bahas sampai benar-benar hapal dan mengerti maksudnya. Dua jam untuk satu pelajaran yang tidak diikutinya dikelas tadi.

Gue belajar lebih keras dari orang lain. Gue 100 kali lipat lebih rajin dari orang lain. Dan perlakuan gak baik yang gue dapet.

Dia menatap atap kamarnya. Matanya kosong. Tiba-tiba terlintas sesuatu tentang pertemuan tadi. Pertemuan tidak sengajanya dengan orang bernama Andika Shamiere yang membuatnya terus kepikiran tentang Leon.

"Shamiere kan banyak di Jerman!" ujar Alfian sambil menatap Aga dan pak Shamiere bergantian. Aga mengangguk.

"Yes.. der Name war in der Tat eine Menge, wahrscheinlich nur ein Zufall (nama itu memang banyak, mungkin hanya kebetulan)," sahut pak Shamiere. "Oya, just call me Andhika, in here." dia tersenyum pada Aga. Aga mengangguk. Lalu ayahnya kembali mengobrol dengan orang itu. keberadaan Aga sudah tidak penting. Jadi dia memilih untuk masuk kamar dan beristirahat.

"ARGGH. Ngapain sih gue mikirin orang?" Aga mengacak-ngacak rambutnya geram. Gue juga punya masalah! Ngapain gue urusin masalah orang. Si Leon lagi, penting juga engga..

TOK-TOK-TOK.

Seseorang mengetuk pintu kamarnya. Aga yang masih malas-malasan dan memilih untuk diam.

"Aga.. Aga..." ujar seseorang dari balik pintu. Aga melengos kesal. Dia tau siapa itu. Aga membalikkan badannya menjadi tengkurap dan melanjutkan belajarnya. "Aga.. buka dulu! Aga..." seru orang itu lagi. Aga menarik nafas berat.

"Apa sih, rin? Masuk aja!" sahutnya dengan nada kesal.

"Dikunci!" Aga mendengus kesal dan bertambah kesal. Dia sangat tidak suka ketenangannya diusik orang lain. Akhirnya dia merapikan buku-bukunya, kemudian bangun dan membukakan pintu.

"Apaan?" tanyanya ketus. Dia duduk dipinggir kasurnya.

"Aga marah yah?" kata orang itu dengan tampang sedih. Aga menatapnya heran. Kemudian gadis itu memeluk erat tubuhnya. Dia menyandarkan kepalanya didada Aga. "Aga jangan marah.. Aga kenapa gak pernah keluar kamar?"

"Arin!" Aga mengendorkan pelukan Arin. Arin menunduk tak berani memandang kakak nya itu. "Siapa yang marah? Ngapain? Udah sana, gue gak suka diganggu!" Aga mendorong-dorong tubuh kecil Arin keluar kamar, tapi Arin berusaha untuk tetep bertahan disana.

"Tunggu, Arin cuma mau ngomong.. Aga marah sama Arin? Gara-gara Ayah, yah? Ayah keliatan lebih sayang sama Arin sekarang.. iya kan?" tanyanya sendu. Matanya berkaca-kaca. Gadis kecil berumur 14 tahun ini hampir menumpahkan seluruh air matanya. Tapi dia harus menahannya.

"Haha, gue udah gede, Rin. Gue bukan anak kecil lagi. Sekarang gue layaknya mereka, punya kehidupan sendiri yang bisa gue atur sendiri. Lagian gue gak ada apa-apa sama ayah." Aga menjelaskannya dengan nada sinis. Arin masih tertunduk. Bagaimanapun dia merasa bersalah. Walaupun memang dia tidak bersalah. Dia sangat menyayangi Aga, tapi Aga selalu cuek padanya.

"Tapi Arin gak suka liat Aga nyinisin Ayah, Aga kenapa bandel? Aga kenapa buat Ayah marah?" kali ini dia sedikit membela kebenaran Ayahnya. Aga mengernyitkan dahi. Dia sangat tersinggung dengan perkataan adiknya.

"Lo gak tau apa-apa.. jangan sok tau. Lo gak penting di sini.. pergi!" Aga berdiri sambil menunjuk pintu kamarnya. Arin menatapnya sedih, dia menangis. Arin sangat terpukul dengan perkataan Aga. itu sangat menusuk hatinnya. Gak penting disini? Pergi.. pergii... kenapa Aga selalu..., Batinnya. Arin ikut berdiri di depan tubuh jangkung kakaknya. Dengan keberanian penuh dia mendongak menatap mata tajam Aga.

I Will be HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang