13 Jebakan, Bagian Dua

104 5 0
                                    

[Penginapan Snakefoot, Lantai 70]

[Tanggal 17 Juni 2024, Pukul 08.12]

Rikka mendatangi kamarku pagi ini. Dia terlihat sangat cemas dan ketakutan, apa mungkin seseorang telah mengancamnya hingga dia ketakutan seperti ini.

"Duduklah di sana," kataku menunjuk ke arah ranjang tidurku sementara aku duduk bersandar di atas meja.

Dia sedikit gugup ketika aku menyuruhnya duduk, menatapku berulang dengan ranjang yang ada di sebelah kananku.

"Tenanglah, aku nggak akan membiusmu atau melakukan sesuatu yang mengerikan padamu. Dan kurasa kamu sudah tahu itu," ujarku sedikit tersenyum untuk membuatnya tenang.

Butuh keberanian dari dirinya mungkin, hingga akhirnya dia duduk lebih santai. Dia kembali menatapku dengan tatapan curiga. "Kuharap... kamu enggak melakukan itu padaku di sini."

Rasanya aku mengerti maksudnya, karena wajahku memerah karena malu untuk membicarakannya lagi.

"Eng-enggak mungkin aku melakukan itu padamu. Waktu itu bukan sesuatu yang disengaja, sungguh... Aku enggak pernah berniat melakukan itu padamu."

"Benarkah... tapi, kamu terdengar gugup sekarang. Sepertinya kamu sedang mempersiapkan rencana untuk melakukannya lagi saat ini..." ujarnya menutup bagian atas tubuhnya dengan kedua tangan, yang tampaknya tak begitu berguna karena masih terlihat dibeberapa bagian.

"Eng-enggak, enggak, aku enggak memikirkan apa pun tentang hal itu, sungguh... Aku bersumpah padamu," kataku terdengar gugup saat menjawab.

Dia lekas tertawa melihat ekspresiku yang aneh. "Haha, aku hanya bercanda kok. Lagi pula, jika kamu melakukannya lagi padaku... boleh saja, tapi... kamu harus—"

"Cukup, cukup... tolong jangan bahas hal itu lagi," kataku memegangi kepala hingga mata dan menolak untuk ikut dalam pembicaraannya itu.

Menghela napas untuk menenangkan diri, aku kemudian berkata, "Apa maumu sebenarnya? Bukannya kamu sudah menceritakan semuanya pada kami, apa yang perlu kamu katakan padaku lagi?"

Pertanyaan itu membuatnya menegang. Dia mulai kembali ketakutan, dan aku sama sekali tak tahu hal apa yang membuatnya setakut ini. Sesuatu yang mungkin adalah...

"...Apa kamu diancam?" tanyaku dengan wajah serius.

Matanya yang murung dan jauh menatap ke bawah, membelalak ketika aku bertanya seperti itu.

"Tenanglah... untuk saat ini kamu akan aman di sini. Jadi kamu enggak perlu takut."

"Tidak!" serunya sedikit lebih keras, dan sangat jelas dia mengatakannya dengan ketakutan luar biasa.

Aku beranjak mendekatinya. "Baiklah, tunggu sebentar," kataku menepuk bahunya.

Aku melangkah mendekati ambang pintu dan bersandar di sana seraya berkata, "Jika kalian ingin mendengar, masuklah... dan jika tidak... jangan menguping lalu berjagalah di sekitar sini. Jangan sampai ada orang yang mendengar pembicaraan kami," ujarku sedikit lebih keras tetapi tidak cukup keras untuk didengar orang yang ada di lantai bawah maupun di luar penginapan.

Terdengar suara berdebum beberapa kali sampai seseorang berkata, "Ba-baik, Master."

"Yah, begitulah... mereka enggak akan mendengarnya dan enggak ada seorang pun yang akan mendengarnya selain kita berdua," ujarku menoleh ke arahnya dan memeberikan sedikit tawa kecil.

Dia tersenyum perlahan, tapi ada perasaan lega di balik senyumnya itu.

"Jadi, apa kamu mau menceritakannya. Mungkin, aku bisa menolongmu jika kamu mau menceritakannya."

ALFATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang