1.

1.2K 95 7
                                    

Dua bulan.

Sudah genap dua bulan sejak aku menjadi seorang 'stalker'. Tapi menurutku aku ini masih stalker yang normal sejak aku tidak mengganggu kehidupan tergetku.

Targetku, adalah seorang pria berambut ikal yang selalu datang ke kafe ini, The Rain. Dia akan selalu duduk di kursi paling pojok dan paling dekat dengan jendela, dan akan mengerjakan tugasnya atau apapun itu disana. Dia akan memakai headphone ukuran raksasa, dan memasang kacamata berbingkai hitam miliknya. Dia akan selalu datang pada hari Jumat dan Minggu, tepat pukul dua sore dan pulang tepat pukul lima sore.

Awalnya aku tidak begitu memperhatikannya, tidak sampai aku menyadari kalau dia memiliki pola tertentu untuk mengunjungi tempat ini. Sejak saat itulah aku terus memperhatikannya, sambil terkadang tersenyum pada diriku sendiri saat memperhatikannya.

Dan dari barista yang menyapanya saat dia datang kesini, aku pun tahu kalau namanya adalah Harry. Harry. Nama yang memang tidak asing di zaman ini, tapi entah kenapa itu sangat menarik perhatianku.

Aku sendiri memang selalu datang ke tempat ini, jauh sebelum dia menampakkan batang hidungnya di tempat ini. Rumahku tidak jauh dari sini, dan kebetulan salah satu baristanya adalah sahabat dekatku. Kampusku juga tidak begitu jauh dari sini, sehingga ini menjadi tempatku untuk bersantai.

"Oi!" Lamunanku buyar saat aku merasakan seseorang menyentil dahiku, dan aku langsung mengaduh kesakitan. Ketika aku melihat siapa pelakunya, refleks aku memutar bola mataku.

"Hey, Mich." Zayn tersenyum, sampai matanya menyipit dan dia tampak sangat menggemaskan. Aku hanya tersenyum, dan membalas sapaannya.
"Hai. Apa kabar?"

Mendengar pertanyaanku, kali ini giliran Zayn yang memutar bola matanya.
"Kau ini, seolah-olah kita terpisah selama satu tahun." Mendengar jawabannya, aku tertawa. Zayn adalah barista kafe ini, dan dia melakukannya hanya karena hobi belaka. Dia adalah sahabat yang kumaksud. Sejak kecil kami selalu bersama, dan tidak pernah terpisahkan sampai sekarang.

"Oke, baiklah. Ada apa? Kau hanya mengambil istirahat sepuluh menitmu saat ada sesuatu yang penting, Bambi." Bambi adalah julukan yang kuberikan pada Zayn karena warna matanya yang seperti madu, dan selalu bersinar jenaka, seperti anak rusa yang ada di film itu sendiri.
"Aku mau minta pendapat." Aku langsung menaikkan kedua alisku, memintanya untuk melanjutkan.
"Soal Selena."

Mendengar nama gadis itu disebut, aku menyeringai jahil. Selena adalah anak jurusan seni, sama dengan Zayn, dan keduanya memiliki beberapa proyek bersama. Dan sahabatku yang satu ini tampaknya tertarik dengannya, dan ingin mengajaknya untuk keluar, tapi tidak berani. Aku akui Zayn tampan, dan tidak sedikit perempuan yang tertarik dengannya. Tapi untuk urusan seperti ini, nyalinya menciut.

"Sudah kubilang, perempuan manapun tidak akan bilang 'tidak' padamu." Aku menghela nafas pasrah, aku sudah menasihatinya berkali-kali tapi dia tidak mau mengikuti saranku.
"Tidak usah melebih-lebihkan. Aku hanya butuh saran tempat." Aku terdiam. Di London, ada banyak tempat wisata yang bisa dikunjungi. Dan juga cocok untuk kencan pertama.
"London Eye? Tower Bridge?" Aku menyebutkan beberapa tempat kencan yang sering dikunjungi oleh orang-orang, dan Zayn terdiam, tampak menimbang-nimbang ucapanku.

"Kalian sama-sama di jurusan seni, jadi cari tempat yang memiliki hubungan dengan seni," Aku membantu memberikan pendapat, dan tiba-tiba Zayn menjentikkan jarinya.
"Dia suka bunga."
"Royal Botanic Garden." Aku menjawab, dan Zayn menggeleng.
"Dia pasti sudah pernah kesana."

Aku menyandarkan punggungku di sandaran kursi, dan menghela nafas panjang. Si Selena ini memang cantik, aku akui itu. Dia menggemaskan. Aku sih tidak keberatan dengan hubungan Zayn dengannya, tapi kalau urusan kencan mereka dari awal sudah rumit seperti ini, aku tidak punya ide lain. Kesabaranku ini sangat, sangat tipis.

"Coba saja kau bawa ke sana. Atau ke kebun binatang. Atau konser-konser musik." Aku memberikan contoh paling basic, dan Zayn mengangguk pelan. Melihat raut wajahnya yang kecewa, aku jadi merasa bersalah.
"Nanti akan kucarikan tempat. Kapan kau berencana ingin mengajaknya?" Aku bertanya, memasukkan beberapa barang-barangku ke dalam tas. Sudah hampir jam lima. Refleks, aku melirik ke arah pria ikal itu, mendapati bahwa dia juga sudah mulai merapikan barang-barangnya.

"Baiklah. Thanks, Mich." Zayn berdiri, dan pergi kembali di balik mesin-mesin kopi. Aku akan menungguinya sehingga kami bisa pulang bersama, dan sementara menunggu dia, lagi-lagi aku melirik Harry. Dia sudah berdiri dari kursinya, tapi dia tidak langsung berjalan menuju ke pintu keluar. Malahan, dia berjalan ke arah mejaku.

Saking bingungnya, aku bahkan tidak menyadari kalau dia sudah berdiri di depan mejaku, dengan ekspresi datar. Dia sudah melepaskan kacamatanya, dan mata hijaunya memandangku dengan tajam. Jantungku berdebar karena kegugupan yang datang tiba-tiba, merasa terintimidasi karena tatapan tajamnya.

"Maaf kalau aku terkesan sok tahu," Dia berdehem, dan aku hanya mengangguk kecil sebagai respon.
"Tadi aku mendengar kau dan temanmu yang berambut seluncuran itu berbicara soal tempat kencan. Kusarankan kalian pergi ke alamat ini." Dia menaruh selembar kertas di atas meja, dan dengan enggan aku mengambilnya.

Lavender Street no. 89, London.

Saat aku mengangkat wajah untuk bertanya, dia sudah berada di pintu keluar, dan belum sempat aku memanggilnya, dia menghilang di balik pintu itu.

+++

"Jadi begitulah." Aku baru saja selesai menceritakan semuanya kepada Zayn, dan dia mengangguk-angguk.
"Aku kenal dia dari Samantha. Si pirang itu mengenalnya." Zayn menjelaskan, dan aku menggigit bibir bawahku. Memang dari Samantha-lah aku mengetahui nama pria itu.
"Kalau tidak salah namanya Harry." Zayn menambahkan, dan aku tersenyum kecil.

"Kau ingin mengecek tempat ini?" Aku bertanya, melambaikan kertas itu di depan wajah Zayn. Dia menggeleng cepat.
"Ini sudah gelap. Dan seingatku, daerah Lavender Street itu di pinggir kota, jadi di jam seperti ini sangat sepi. Aku tidak ingin membahayakan salah satu dari kita." Zayn menjelaskan, dan aku mengangguk setuju.

Seperti yang kukatakan, rumahku tidak jauh dari kafe itu. Rumah Zayn dan rumahku kebetulan bersebelahan, sampai-sampai aku bisa berkunjung ke kamarnya melewati jendela kamarku. Kadang-kadang aku menyelinap ke kamarnya saat malam hari, dan kami akan bercerita sampai puas disana. Atau aku aka menonton Zayn yang sedang melukis, atau bermain piano.

Rumahku dan rumah Zayn sudah bisa terlihat, dan setelah mencubit pipinya, aku berlari ke dalam rumahku. Aku sedang sendiri di rumah, karena Ayah dan Ibu punya urusan pekerjaan di New York. Mereka berdua bekerja untuk sebuah perusahaan otomotif, dan karena pangkat mereka yang lumayan, memaksa mereka untuk selalu dinas keluar kota setidaknya dua kali sebulan. Sejak saat itulah aku jarang bertemu dengan mereka.

Aku adalah anak tunggal, dan mungkin itu juga sebabnya aku bisa dekat dengan Zayn. Ayah dan Ibu suka menitipkanku di rumah mereka, dan aku sudah seperti anak tanpa hubungan darah dengan keluarga Malik.

Aku memanaskan pizza dingin dari kulkas di dalam oven, dan sambil menunggunya, aku melihat-lihat kertas yang tadi diberikan oleh Harry.

Aku tidak bisa menahan senyuman tipisku saat memikirkan soal itu, dan tanpa sadar aku tertawa. Dengan kata lain, dia menguping pembicaraanku dengan Zayn, atau suara kami berdua memang terlalu besar. Padahal jarak antara meja kami dengan mejanya lumayan jauh. Dan lagi, bukannya tadi dia memakai headphone?

Aku menggeleng cepat, menyadari kalau itu bukan urusanku. Pizza-ku sudah panas, dan sekarang waktunya makan malam.


Chasing Summer [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang