7.

385 66 10
                                    

M i c h e l l e


"Liam!"

Luka di kepalanya mengeluarkan darah yang sangat, sangat banyak. Membasahi jalanan abu-abu yang warnanya sudah mulai memudar, dan juga tanganku yang berusaha menopangnya. Merah terang, darah segar. Bau darah yang khas membuatku mual, meskipun aku ini calon dokter dan akan berhadapan dengan hal ini secara terus menerus.

"Tolong!" Aku berteriak berusaha meminta pertolongan, melihat ke kiri dan ke kanan. Sial, kenapa aku tidak memberinya helm tadi? Bisa-bisa aku juga ikut dipenjara. Hei, dimana mobil yang tadi menabrakku? Dimana kendaraan yang lain?

"M-michelle," Liam memanggilku, dan aku menatapnya dengan panik. Oh tidak, aku belum ingin menyaksikan seseorang mati di tanganku.
"TETAP BERNAFAS LIAM PAYNE! KAU BELUM WISUDA!" Aku berteriak panik sambil merogoh saku, berusaha mencari ponselku untuk  memanggil polisi atau ambulans. Persetan kemana perginya penabrak dan kendaraan yang lain, nyawa Liam lebih berharga daripada aku berteriak minta tolong tidak jelas.

"Michelle,"
"Diam, jangan ribut,"
"Michelle,"
"Liam, diam." Aku menempelkan ponsel di telinga, menunggu panggilan itu diangkat.

"MICHELLE ABRAMS!"

Aku merasakan sesuatu yang basah mengenai wajahku, dan sontak aku membuka mataku. Pandanganku masih kabur, tapi aku bisa melihat sosok pria memegang ember berwarna biru, berdiri di samping tempat tidurku. Aku dalam posisi terduduk, sambil memegang wajahku sendiri, dan mengucak mataku berulang kali.

Saat akhirnya aku dapat melihat dengan jelas, mataku membelalak.

"KAAAUUUUUUUUUU!" Aku langsung bangkit dari tempat tidur, tapi tiba-tiba rasa sakit menjalar di kaki kiriku, sampai ke paha, dan aku mempersiapkan wajahku untuk menghantam karpet krem lantai kamarku, tapi ada yang menahanku.

Saat ini terjadi, aku jadi teringat tentang peristiwa beberapa jam yang lalu. Kecelakaan itu, Liam, Harr- tidak, Titisan Kera, terkilir, menumpang, sampai di rumah. Oke, terima kasih sudah mengantarku, tapi kenapa dia ada disini?

"Apa yang kau lakukan disini?" Aku berusaha untuk bertanya dengan lebih tenang, berpegangan pada bahunya sementara dia kembali membaringkanku di tempat tidur. Aku menolak untuk membuat kontak mata dengannya, tidak boleh terjadi.

"Aku ketiduran setelah membersihkan rumahmu, dan tiba-tiba kau berteriak tidak jelas," Har- Titisan Kera menjelaskan, sambil mengucek matanya sendiri. Rambutnya berantakan, dan dia tampak kusut. Aku melihat ke sekeliling, mendapati kamarku rapi dan bersih, tapi yang paling penting, coretan pilox hijau tua itu sudah tidak ada. Hilang total. Bersih tanpa noda, seperti iklan deterjen di televisi.

"Kau membersihkannya?" Tanpa kusadari aku tersenyum lebar, sampai gigiku terlihat. Harry mengangguk pelan, dan aku berseru dengan lantang, "Terima kasih banyak!"

Dia tampak terkejut dengan apa yang aku katakan, dan setelah lima detik, aku teringat bahwa itu memang salahnya dan dia bertanggung jawab membersihkannya, tapi nasi sudah menjadi bubur dan aku tidak bisa menarik kata-kataku, sebenci apapun aku padanya. Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan teratur, mengatur emosiku.

"Terima kasih juga sudah mengantarkanku kesini." Aku memutuskan untuk mendinginkan emosiku, dan Harry mengangguk.
"Tak apa. Kau lapar? Ini sudah jam sebelas malam. Kakimu belum kurawat karena aku takut kau berpikiran yang tidak-tidak, mau kurawat sekarang?" Harry berujar cepat, dan aku terkekeh.
"Pelan-pelan, Titisan Kera." Aku tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. Aku tidak akan memaafkannya begitu saja, tapi setelah kupikir-pikir, sebenarnya ini bukan masalah serius, atau mungkin seperti itu.
"Baiklah, kau mau makan dulu atau kurawat dulu kakimu?" Dia menghela nafas panjang sambil menggaruk tengkuk lehernya, dan aku terdiam.
"Makan saja dulu. Aku bisa merawat kakiku sendiri,"

Pria itu lalu melesat pergi, dan kurasa dia pergi ke dapur. Tampaknya dia sudah terbiasa dengan keadaan rumah ini, aku tidak akan ambil pusing. Pelan-pelan kusibak selimutku, menampilkan kaki kiriku yang dari luar tampak baik-baik saja tapi dia masih belum diberikan perawatan selama empat jam lebih. Dan aku tidak mau ngesot ke kamar mandi untuk mengambil alat-alat P3K, jadi aku menunggu Harry datang.

Tidak lama kemudian, dia kembali, membawa sepiring omelet yang masih hangat dan sepiring nasi, lalu ada semangkuk sup yang dibawa dalam satu dulang ditambah segelas air. Aku tercengang melihatnya.
"Kau bisa memasak?" Tanyaku tidak percaya.
"Makan saja, jangan banyak tanya."

Dan kali ini, aku mematuhinya saking laparnya diriku.

+++

Mimpi yang tadi menyeramkan, setelah kuingat-ingat. Tapi untungnya cuma mimpi.

"Oi, apa yang sedang kau pikirkan?"

Aku baru saja selesai merawat kakiku, dan sekarang sudah terasa lebih baik. Memang aku belum mandi sih, tapi aku sudah berganti pakaian di kamar mandi, dengan kaki yang sudah bisa berjalan meskipun tertatih-tatih. Dan sekarang aku duduk di tempat tidurku, melamun, sampai Harry menjentikkan jarinya di depan wajahku.

Suasana diantara kami berdua mencair, dan sudah tidak setegang tadi. Dia juga menjadi lebih rileks, dan tidak sejutek yang kukenal dulu. Ada apa sih sebenarnya dengannya? Awal bertemu dengannya dia sangat, sangat menyebalkan. Dan sekarang dia membantuku? Atau ini semua hanya karena dia merasa bersalah? Ataukah ini hanya bagian dari permainannya?

"Oi, tadi aku bertanya," Harry menyentil dahiku kali ini, dan aku mengaduh sakit tidak terima.
"Aku memikirkan tugasku, keriting," Aku membalas sambil mengusap-usap dahiku, dan dia terkekeh.
"Okelah, aku pulang dulu, ini sudah tengah malam. Tidak wajar."

Ucapannya menyentilku kembali ke realita. Aku lupa kalau ini sudah tengah malam, dan aku berada di dalam kamarku, di dalam rumahku tanpa orang tua, dan bersama laki-laki yang kurang dari 24 jam yang lalu sangat kubenci, sangat kubenci sampai aku rela mencarikan pesawat antariksa untuk membawanya ke bulan.

"Ah, kalau kau mau, pakai saja kamar tamu di bawah. Tidak enak kalau kau pulang di jam begini," Meskipun begitu, tetap saja sebagai 'teman yang baik' aku tidak akan langsung menyuruhnya pulang di jam begini. Ohya, hanya Zayn dan Louis saja laki-laki yang pernah masuk ke kamarku di jam seperti ini, dan itu diketahui oleh orang tuaku. Tapi dia? Asstaagaa.

"Oh, terima kasih. Sebenarnya aku ngantuk sekali." Harry berdiri dari kursi meja riasku, dan aku mengangguk, "Kamar tepat di samping tangga, sebelah kiri. Tidak terkunci kok, kamar mandi dalam dan fasilitasnya lengkap kecuali baju ganti." Aku menjelaskan, dan terkekeh setelah menyadari kalau aku terdengar seperti resepsionis hotel.

"Ya, ya, terimakasih, Dani." Dia menjawab, sambil berjalan menuju pintu kamarku.
"Apa, Dani?" Aku mengulang nama panggilannya untukku, dan dia berbalik, tersenyum jenaka.
"Entahlah, kau mirip dengan seseorang yang kukenal dan aku biasa memanggilnya dengan nama itu. Kau keberatan?" Dia bertanya, tangannya sudah memegang gagang pintu.
"Um, agak. Soalnya namaku sangat jauh dari kata 'Dani'," Jawabku santai, dan untuk sesaat aku sempat melihat sesuatu yang ganjil di matanya, tapi kemudian mata itu berkilat-kilat jenaka lagi, dan aku memandangnya dengan bingung.
"Oke, kalau begitu, selamat malam, Michie."

Dan tanpa menunggu responku, dia menutup pintu, meninggalkanku yang masih kebingungan.


+++

nah, muncul kan permasalahannya. hehehe. ayo bikin teori sendiri ayooo

sengaja pendek, ini akhir dari permulaan masalah kwkwkwk.

Chasing Summer [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang