Chapter 5: The Second House

617 16 2
                                    

Lima hari perjalanan tanpa makan pun telah berlalu. Ya, mereka masih bisa minum karena banyaknya mata air yang bersih dan jernih di daerah itu.

Saat itu, hari sudah mulai memasuki sore. Lokasi mereka di peta yang diberikan Lord Jack adalah tepat di depan gerbang rumah kedua. Tapi mereka tidak melihat apa pun. Tidak ada gerbang ataupun rumah. Di hadapan mereka, hanya ada goa besar yang lumayan jauh.

Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Awan-awan menjadi banyak dan berkumpul menggumpal-gumpal. Bunyi halilintar menggema dengan keras di langit seolah marah. Hujan deras menyerbu tanah tanpa izin maupun peringatan. Ketujuh Pemegang Emerald yang sedang kebingungan ini menjadi lebih bingung dan pusing.

“Leonardo! Apa ini ulahmu, hah?!” bentak Ronald. Deru dan derasnya hujan membuat mereka nyaris tidak bisa melihat dan mendengar.

“Apa, Ronald?! Tidak kedengaran!” teriak Leonardo. Sedangkan Ronald tidak bisa mendengar kata-kata Leonardo. Mereka terpisah begitu cepat, karena semakin mereka mencari satu sama lain, mereka semakin menjauh.

“Hei, semuanya! Jika ada yang mendengarkanku, segera pergi ke tempatku!” teriak Jackie sekeras mungkin. Penglihatannya kabur. Kacamatanya juga basah.

“Tapi, aku tidak bisa melihatmu, Jack!” sahut George yang posisinya paling dekat dengan Jackie. Jackie berpikir, mencari cara.

“Kalau begitu, kita berlindung dulu di gua! Semuanya pergi ke gua didepan kita! Kuulangi, PERGI KE GUA!” Jackie mengeraskan suaranya saat mengucapkan ‘pergi ke goa’. Semuanya mendengarnya, kecuali Rein, Freddie, dan Rey.

Jackie berlari sekencang-kencangnya ke arah gou. Ia melihat siluet seseorang berlari cepat melewatinya dan segera masuk ke gua. Jackie bisa menebak siapa itu; George. Karena George adalah orang yang panik dan dapat melakukan apapun lebih dari kemampuannya di saat darurat. Bisa dikatakan, pemikiran orang seperti George adalah, ‘yang penting selamat’, walau terkadang justru ia lebih mementingkan diri sendiri. Jackie segera meraih pintu gua dan masuk ke dalamnya. Benar saja, George sudah berada di dalam situ, menggigil kedinginan.

“George, kamu tidak apa-apa?” tanya Jackie seraya duduk dan bersandar di dinding gua seberang George.

“Tidak! Aku kedinginan! Cepat buatkan api!” sahut George sensitif.

“Iya, iya.”

Jackie segera berjalan sedikit lebih ke dalam goa dan melemparkan api ke lantai gua, lalu duduk di depan api untuk menghangatkan diri. George berjalan terseok-seok ke dalam gua dan membaringkan badannya di dekat api dengan puas setelah melepas sepatu boot dan jaket cokelat tebalnya yang basah karena hujan, beserta pedang Earth Blitz Sword-nya dan sarung pedangnya. Jackie juga ikut melepas sepatunya.

Tak lama kemudian, Ronald berjalan perlahan masuk ke goa dengan wajah pucat. Dengan langkah yang lemah ia mendekati George dan Jackie.

“Ronald! Wajahmu pucat, apa kamu demam?” tanya Jackie seraya berjalan mendekati Ronald yang telah duduk di depan api, walau sebenarnya Jackie tidak begitu peduli dengan Ronald. Ronald memegang keningnya, mencoba mengukur suhu badan.

“Badanku panas... Sepertinya iya...” sahut Ronald dengan suara lemah.

“Kalau begitu, lepaskanlah dulu sepatumu dengan bajumu yang basah! Jaketku tidak begitu basah, akan kukeringkan dulu di dekat api, lalu akan kupinjamkan padamu.” ucap George.

Ronald mengangguk lemah dan menuruti George. “Terima kasih,” ucapnya pelan.

“Sebaiknya kau duduk lebih dekat dengan api,” saran Jackie. Ronald mengangguk lagi dan berbaring lebih dekat ke api diselimuti jaket George. Beberapa saat kemudian, Ronald sudah terlelap.

7 Emeralds: The Legends [CANCELLED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang