"Ayo masuk," perintah Arbi yang langsung dipatuhi Daniel. Sebelum ikut masuk, Arbi memandang sekeliling rumahnya yang nampak kosong dengan teliti untuk memastikan tidak ada siapa pun di sana yang melihat pintu ini.
Tidak ada siapa-siapa. Pikir Arbi.
Setelah sekali lagi memastikan, akhirnya ia memasuki pintu tersebut dan menutupnya.
Ketika pintu tertutup, pintu itu berubah kembali menjadi sebuah lukisan Helios, Dewa matahari mitologi yunani kuno.
Rumah itu kembali menjadi senyap seperti tidak berpenghuni.
Arbi salah. Ruangan itu tidak kosong. Ada seseorang yang melihat semua itu dengan mata kepalanya sendiri. Ia tersenyum miring dan detik berikutnya tubuhnya muncul tepat di depan lukisan tersebut. Seorang gadis cantik berambut panjang yang memiliki poni. Ia memakai jubah panjang berwarna hitam merah yang tadi membuatnya tidak nampak di mata Arbi. Saat ini ia menatap tajam lukisan itu. Terlihat biasa, tapi dengan matanya yang berbeda dari manusia kebanyakan, ia bisa melihat adanya kode sensor telapak tangan yang menjadi kunci untuk membuka pintu tadi.
Rahangnya mengeras.
Aku akan membalas kematian mom. Lihat saja kau Linda, Arbi. Jika aku tidak bisa membunuh kalian, jangan harap salah satu dari kedua anak kalian akan selamat. Lihat saja nanti!
Sementara di dalam ruangan tadi sudah berkumpul keluarga Orizon –Arbi, Linda, Petter, dan Daniel. Linda duduk di depan monitor cctv yang memperlihatkan pemandangan apa saja yang ada di sekeliling rumah mereka. Matanya sedikit menyipit di layar monitor yang menampilkan bagian depan pintu masuk ke ruangan ini. Ia seperti melihat sesuatu yang nyata tapi tidak tampak jelas. Hanya berupa bayangan putih. Ia mengerjap sekali dan bayangan itu pun hilang....
"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan sehingga kalian rela datang jauh-jauh hanya untuk membicarakan hal sepele ini?"
"Jaga bicaramu!" desis Petter saat mendengar pertanyaan Daniel yang tidak sopan.
Daniel tidak menghiraukannya. Ia hanya memandang lurus ke depan di mana Arbi duduk. Sementara Linda baru saja duduk di sebelahnya ketika sudah puas meneliti setiap monitor yang memenuhi ruangan ini.
"Hallo, Sayang. Bagaimana kabarmu?" Linda hendak mencium pipi Daniel sama seperti waktu Daniel kecil. Tapi belum lagi sampai, Daniel sudah menghindar.
"Aku bukan anak kecil lagi, Ma!" serunya tidak suka.
Linda tersenyum kecut. Ia membatalkan keinginannya untuk mencium anak bungsunya tersebut dan lebih memilih duduk di sebelah Arbi.
Daniel menatap Arbi tidak sabar. Sebenarnya ia sudah tahu apa yang ingin di bicarakan oleh papanya itu, tapi ia berlagak bodoh. Jika memang arah pembicaraan ini sampai benar seperti apa yang ia pikirkan, ia tidak segan-segan membantahnya!
"Langsung pada intinya saja," tukas Daniel ketika melihat Arbi mulai membuka mulutnya.
Arbi menghela napas. Anaknya itu kini menjadi tidak teraih lagi....
"Papa ingin bertanya kenapa kau tidak membuka npesan yang kami berikan?"
"Aku tadi terlambat ke sekolah. Tidak sempat. Sesampainya di rumah aku sudah menemukan papa. Jadi apa mau papa? Katakan saja sekarang. Tidak perlu menggunakan pesan sekali pakai itu."
"Papa ingin kau menjauhi teman perempuanmu itu," putus Arbi.
Daniel sedikit tertohok dan kemudian rahangnya mengeras. "Siapa?" desisnya bodoh.
"Siapa lagi?"
Tiba-tiba saja Daniel berdiri dengan lantang. "Tidak! Jika papa datang jauh-jauh kemari hanya untuk memintaku untuk menjauhi Clark, aku tidak akan mendengarkannya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
POWERS
Fantasy[COMPLETED] "Aku tidak ingin dia menguasai tubuhku terus menerus. Aku lelah...." - Clark "Kami ini dua yang menjadi satu, dan satu yang terdiri dari dua," - Chelsea "Lawan dia, Clark. Kuasai tubuhmu lagi... demi aku." - Daniel * * * Pada mulanya kal...