Bagian 10 : Tubuhnya

450 24 0
                                    

       

Sore harinya Daniel terbangun akibat suara berisik di dekatnya.

"Kau tidak sekolah?"

Daniel mengerjap beberapa kali dan mendapati Petter duduk di tepi ranjangnya. Meski samar, tapi Daniel masih bisa melihat tatapan penyesalannya.

"Sakit," jawabnya singkat. Ia mencoba bangun dari baringnya.

Tunggu! Daniel menyentuh keningnya. Tidak pusing lagi!

"Kau tampak segar. Tidak seperti orang sakit."

Benar. Daniel merasa sehat. Bahkan tidak sedikit pun merasa sakit di sekujur tubuhnya seperti tadi saat di sekolah.

"Ta.. tapi tadi aku benar sakit," kata Daniel bingung sendiri.

Petter memutar bola matanya. "Sudahlah lupakan." ia bangkit dan langsung keluar dari kamar Daniel tanpa mengatakan sepatah kata pun.

Daniel tercenung. Aneh. Bukankah tadi ia benar-benar sakit? Kepalanya bahkan seolah-olah dihantam palu gondam yang besar. Tapi kenapa sekarang ia tidak merasakan sakit sedikit pun di bagian tubuh mana pun? Dan... kemana Clark?

Tiba-tiba saja Daniel tersadar ketika menyadari bahwa Clark yang tadi mengantarnya pulang telah tiada.

Dan kenapa tiba-tiba Daniel merasakan pipinya memanas?

Ia memegangi pipinya. Seperti bekas sesuatu yang entah apa ia tidak tahu. Ketika baru saja hendak melupakan apa yang ada di kepalanya, ia menyentuh sesuatu di samping bantalnya.

Daun? Daniel mengernyit. Ada tiga lembar daun berbentuk pipih dan lebar. Ujungnya sedikit bergerigi jarang.

Daun apa ini?

Karena tidak menemukan atas pertanyaannya itu, akhirnya ia mengangkat bahu tidak perduli dan menaruh tiga lembar daun itu di laci lemari samping kasurnya.

* * * *

"Kau menyembuhkannya padahal dia adalah orang yang hendak kau lenyapkan. Lucu sekali tuan putri."

"Sudah kubilang jangan mencampuri urusanku."

Mr. Greyzof tertawa sumbang. "Kenapa? Kau mulai merasa kalah? Kalah akan kekuatan dan... perasaanmu? Sudah kubilang jangan bermain-main dengan pria seumuranmu."

"Aku tidak merasa kalah!"

Jawaban Clark yang terlalu cepat semakin membuat Mr. Greyzof tersenyum miring.

"Dan tidak ada hubungannya semua ini dengan perasaanku!" sambung Clark

"Belum," ralat Mr. Greyzof.

Mr. Greyzof berjalan meninggalkan Clark menuju kamarnya. Ketika sampai di kamar, ia menatap lukisan besar yang ada tepat di atas kasur. Lukisan di mana ada seorang perempuan berbalut baju satin halus berwarna putih sedang menari di tengah cahaya bulan.

"Kau lihat Gisela? Anakmu itu termakan perasaannya sendiri."

Tiba-tiba aura jahat dan hitam yang selalu menggelayuti Mr. Greyzof atau yang lebih dikenal sebagai Benjamin berubah menjadi aura pedih yang menyayat hati. Matanya sedikit berkabut sambil terus memandang lukisan itu.

"Cobalah bawa anakmu itu menjauh dari tubuh Clark." Benjamin menelan ludah. "Aku merindukan Clark, Sayang."

Saat Benjamin sedang berduka di kamarnya, Clark, sang anak masih duduk terdiam di koridor belakang rumahnya. Duduk memandangi kebun anggur hitam yang cukup luas di belakang rumahnya itu.

Mom, andai kau berada di sini, aku bisa menanyakan sesuatu yang hanya bisa dijawab oleh sesama wanita.

Mom, andaikan kau juga tahu bahwa aku sedang takut. Takut saat dia menguasai tubuhku dan mengendalikanku di bawah alam sadarku.

Clark memejamkan matanya. Membiarkan bulir air jatuh di pipinya.

Aku ingin dia pergi bersamamu, Mom. Aku tidak ingin dia menguasai tubuhku terus menerus. Aku lelah....

* * * *

Malam hari datang dengan cepatnya. Di sisi kamar Clark yang luas, terdapat sudut yang gelap pekat seolah memberi pembatas bahwa itu bukan tempat yang boleh di masuki Clark.

Dalam kamar yang luas itu, terdapat dua kasur Queen size dan lemari besar yang juga berjumlah dua. Tapi bedanya satu di antara barang itu berada di sisi gelap kamar Clark.

Clark mematut dirinya di depan cermin besar yang separuhnya juga berada di sudut gelap itu. Cermin tempat ia berbagi dengan seseorang. Seseorang yang berarti baginya. Dulu.

"Keluarlah dari tubuhku. Kumohon," lirih Clark. Ia memegangi ujung meja demi menahan sesuatu yang kuat di dalam dirinya.

Pantulan di cermin itu tersenyum mengejek. "Kenapa? Apa kau sudah tidak ingin membalaskan dendam kematian mom?"

"Aku...," tenggorokan Clark tampak tercekat. "aku tidak pernah mau balas dendam. Itu semua idemu. Kau yang menuntut dendam itu."

"Itu karena aku menyayangi mom!" teriak pantulan di cermin itu pada Clark. "Kau lupa apa misi kita sebenarnya. Misi kita adalah menghabisi keluarga Orizon! Ingat itu baik-baik!"

"TIDAK!" Clark balas berteriak. "itu semua misimu. Bukan misiku. Kau hanya menggunakan tubuhku untuk membalaskan dendam itu. Kau licik. Kau jahat, Chelsea!"

"Karena itu memang sifatku." pantulan yang di panggil Chelsea itu tersenyum lembut. Tapi siapa pun yang melihat senyum itu pasti akan bergidik ngeri karena di balik senyum itu, semua orang tahu bahwa ada kekejaman di sana.

"Apa kau lupa, Clark? Kita ini dua yang menjadi satu. Dulu mungkin kau bisa bebas menguasai tubuh ini. Tapi sekarang tidak lagi."

Clark mengeram keras. "Ini tubuhku. Ragaku. Bukan milikmu!"

"Tidak sampai aku benar-benar bisa melenyapkan keluarga Orizon. Selama aku belum menyelesaikan misiku, kita adalah satu."

Chelsea tersenyum mengejek ketika melihat penderitaan Clark yang terpampang jelas di hadapannya. Penderitaan... saudari kembarnya.

"Berhentilah mengeluh.Ikuti saja permainan yang kubuat. Jika kau ingin aku pergi, tunggu sampai dendamku terbalaskan."



****

TBC....

POWERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang