Pukul Empat Lebih Tiga Belas

50 6 0
                                    

***

  "Beli dua es krimnya."  

***

"Beli dua es krimnya."

Sumpah. Dalam hidup cewek itu—oke, mungkin bukan dalam seluruh hidupnya yang sudah tujuh belas tahun. Dalam giliran kerjanya di hari Sabtu lainnya di musim panas yang suhunya bukan main ini, pelanggan yang satu ini satu-satunya yang membuatnya kegirangan. Sebelumnya rekor ini digenggam oleh cowok tinggi manis dengan rambut coklat gelap yang jelas sekali kelihatan seperti cowok-cowok tipikal film yang pastinya sudah punya pacar.

Cowok yang satu ini juga tampan buatnya. Belum lagi ini pertama kalinya ia melihat cowok itu menguncir poninya yang biasanya dijambul keren. Sudah mana cowok itu hanya mengenakan kaos abu-abu terang dengan lengan digulung sedikit yang tidak biasanya ia pakai, dipadukan dengan celana selancar selutut warna oranye neon yang sama sekali tidak membuatnya kelihatan menjijikan. Justru, wow, dia ke sini ingin selancar? Keren sekali, yang melintas di benak cewek itu. Segala detil kecil yang tertangkap malah membuat cewek itu merah sendiri. Oke, mungkin ia merah sendiri hanya karena memang mereka teman satu sekolah dan sudah dari sananya cowok itu menarik sekali untuknya.

"Hey, aku ingin es krim, dua," cowok itu mengulang, menatap mata si cewe dalam-dalam, mencari seberkas fokus yang mungkin sudah tidak ada karena eksistensinya sendiri.

"Ah, iya. Rasa apa?" tanya cewek itu sesaat pikirannya kembali ke pekerjaannya yang tadinya ia anggap payah. Well, mungkin kapan-kapan aku bisa bekerja di sini lagi.

"Cookie dough, dan mint chocolate chip."

"Tunggu sebentar."

Dia suka cookie dough juga? Lucu sekali. Cewek itu dengan tergesa-gesa menyendok es krim banyak-banyak, dan menumpuknya tinggi di atas cone, sambil mencuri-curi pandang ke cowok-mirip-Brooklyn-Beckham di depannya. Astaga dia benar-benar ada di depanku. Tapi dia tidak menyapa seperti sesama teman sekolah, berarti... Ah, sial. Dia tidak kenal aku, ya?

Sendokan terakhir es krimnya membuat cewek itu agak sedih. Ah, sial, dia pasti pergi habis ini.

Eh—

—tapi, 'kan, jam kerjaku sudah mau habis!

"Ini," cewek itu menyodorkan dua tumpukan es krim di tangannya kelewat semangat. "Totalnya tiga dolar."

Cowok di depannya membuka dompetnya—yang juga keren—dan menaruh uang pas di atas konter, sebelum mengambil alih dua cone es krim itu. Kalau saja cowok itu memiliki pendengaran yang super tajam, ia pasti bisa mendengar gadis di depannya termegap begitu sentuhan kecil kulitnya terasa di tangan cewek itu.

"Terima kasih, silahkan kembali lagi." Cewek itu mengucapkan satu set kalimat yang sudah seharusnya ia ucapkan ketika pelanggan membalikkan tubuh dan kembali ke laut. Tapi hingga satu menit penuh setelah cewek itu berucap, cowok tampan di depannya belum pergi. Cowok itu memandangnya di mata, lama sekali hingga cewek itu sendiri merasa pusing, hampir meleleh hanya karena adu pandang sederhana itu.

Oh.

Oh.

Aku tahu ini.

Jangan-jangan ia ingin memberi satu es kimnya untukku seperti di film-film?

Nope—salah. Setelah satu menit yang canggung itu, si cowok hanya tersenyum lebar yang bisa dinilai bodoh, dan berkata, "Ya, sampai nanti," dan benar-benar pergi meninggalkan stand es krim tepi pantai itu. Cowok itu berjalan menuju pantai tanpa menoleh ke belakang, dan bisa dilihat dengan jelas meskipun dari belakang, cowok itu mulai menjilati es krimnya yang berwarna hijau, sedang yang lainnya dibiarkan.

Lima.

Empat.

Tiga.

Dua.

Satu.

"Bos," cewek pirang itu mengambil walkie-talkie-nya buru-buru, "Jam kerjaku sudah habis. Aku ingin pergi ke pantai. Selamat siang."

Setelah tali apron terlepas, pintu stan terkunci, dan topi baseball-nya terasa tepat di atas kepalanya, gadis itu berlari menuju pantai. Banyak orang di sana—well, siapa yang tidak suka matahari musim panas milik California? Banyak sekali orang yang memakai kaos abu-abu terang, celana oranye neon, dan berambut gelap di pantai itu. Terlalu banyak untuk membuat cewek itu termegap, tapi tidak cukup banyak untuk membuat semangatnya redam.

Ia berjalan satu kilometer ke barat, kembali lagi ke titik awal, dan berjalan satu kilometer ke timur. Sewaktu napasnya tersengal, sesosok cowok dengan kaus abu-abu terang, celana oranye neon, dan surai dikuncir aneh terlihat di ujung matanya. Sosok itu sedang ada di atas bukit, agak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Tapi, undakan tinggi yang menuju bukit itu sama sekali bukan apa-apa untuk si cewek tangguh, hingga akhirnya ia sampai di depan cowok impiannya dengan napas tersengal dan badan penuh peluh.

Ew, lebih baik aku tidak kemari. Seketika ia menyesal.

"Hai," tiba-tiba, tanpa ada angin barat laut bertiup, cowok itu menyapanya seolah mereka sudah kenal sejak lama.

"H—hai," si cewek jelas tergagap. Jadi, sebenarnya cowok ini kenal aku atau tidak?

"Sini, keburu es krimmu lumer." Si cowok menepuk-nepuk bagian kosong di sampingnya di atas bangku yang didudukinya.

"Kau," si cewek dengan agak ragu duduk di atas bangku kayu itu, "Kenal aku?"

Tawa yang tidak diharap tiba-tiba keluar. Oke, itu tawa paling lucu yang pernah kudengar. "Mana bisa aku tidak kenal denganmu, kau, 'kan, cewek biologi yang lucu itu. Romeo selalu bicara soalmu, bagaimana aku tidak tahu?"

Romeo membicarakan diriku terus? Ah, tuh, 'kan, aku sudah tahu pasti ada yang membicarakanku di belakang. Telingaku rasanya gatal terus.

"Dan lagi—"

Cowok itu menyodorkan es krim dengan rasa kesukaan si gadis untuknya.

"—aku memang sudah tertarik dari dulu, kok."

Apa?

"Astaga, lihat itu," si cowok menunjuk ke laut, "Kau lihat yang baru saja terjungkal dari papan warna teal itu? Ahaha, dasar Romeo si Malang."

Cowok di sampingnya berdiri, dan mulai menuruni undakan menuju pantai. Baru beberapa langkah diambilnya dan ia berhenti, berbalik hendak mengatakan sesuatu.

"Ngomong-ngomong, besok mau selancar bersama? Romeo sangat butuh teman di laut lepas sana, dan aku tidak yakin ada yang mau menjaga pakaian kami, jadi..."

"Aku mau, kok." Si cewek tersenyum girang, bahkan tidak peduli senyum itu sudah tidak terlihat seperti yang awalnya ia niatkan. Ah, tapi toh si cowok hanya tersenyum balik, memberi gadis itu senyum terbaiknya, dan berujar,

"Sampai ketemu besok kalau gitu, Mae."

FIN.

Hai!

Terima kasih udah baca chapter pertama buku ini. Aku jadi pengen libur lagi pas mau publish ini;;( Ngomong-ngomong, cerita ini udah pernah aku publish di wordpress pribadi aku juga.

Oh, kalo ada yang punya saran lagu untuk musim panas, drop it on the comment!

XOXO
12:04, 31 Agustus 2016

By The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang