***
"Bisa buatkan istana pasir?"
***
"Bisa buatkan istana pasir?"
Aaron mendengar ada yang bertanya lemah di sampingnya. Majalah GQ setengah bacanya menutup matanya, jadi dia tidak yakin itu tadi hanya suara-suara dalam mimpinya atau suara cewek betulan. Tangan kanan, yang tadinya ia gunakan sebagai bantal bersama tangan yang kiri, ia tarik dari bawah kepalanya. Aaron menggenggam bagian bawah si majalah yang rasanya lebih berat dari saat sebelum dia tinggal tidur.
Begitu dia sudah bisa melihat lagi, dia lihat ternyata suara tadi berasal dari cewek betulan yang sekarang berjongkok dekatnya. Cewek itu sepertinya seumuran dengannya, tapi umur mental mereka jauh—Aaron yakin dengan poin yang terakhir. Cewek itu memakai bikini strapless yang warnanya pink menyala. Aaron juga cukup yakin harusnya bikini itu membuat orang kelihatan seksi, dan sebangsanya. Tapi nyatanya cewek itu kelihatan seperti anak kecil yang berpakaian terlalu dewasa.
"Apa?" Aaron bertanya basa-basi.
Cewek itu tidak menjawab. Mulutnya membuka besar sekali saat mereka bertatap mata. Aaron tidak yakin ada apa di mukanya, tapi dia baru ingat ada apa di mukanya. Ada ketampanan yang kata kakaknya bertambah kalau dia habis tidur. Atau mungkin ada mata menawan yang menurut teman-temannya bisa membuat cewek langsung pingsan.
"Apa?" cowok itu mengulang lagi. Untung kali ini si cewek bereaksi—dia berkedip-kedip lalu menutup mulut lebarnya. Tangannya tiba-tiba terangkat, mungkin mau pamer sekop mainan yang ternyata dia bawa.
"Bisa buatkan istana pasir?"
Aaron menyingkirkan majalah dari pangkuannya, dia geser ke samping. "Untuk?" Serius, untuk apa dia bantu cewek nggak benar ini buat istana pasir?
"Untuk adikku. Dia kesini mau bikin istana pasir. Tapi aku nggak bisa, padahal sudah janji. Aku mau minta tolong ke orang lagi, tapi pasti mereka sibuk dengan temannya masing-masing, atau nggak sedang tidur. Kamu saja yang—eh, jangan tidur!"
Aaron terbangun karena cewek itu menampar pipinya pakai sekop mainannya. Salah cewek itu sendiri, bicara kemana-mana tidak jelas. Sumpah, deh, harusnya sekarang ini Aaron sedang tidur siang, menunggu Romeo balik dari mengemis plester; bukannya mengurusi cewek jadi-jadian.
"Bantu aku bikin istana pasir, ya? Ya?"
Dengan sekuat tenaga, Aaron menatap lemas si cewek, berusaha mengirim pesan bahwa dia sedang tidak ingin—dan tidak akan pernah ingin—membantu siapapun melakukan apapun. Dan itu termasuk membantu si cewek membuat istana pasir. Ditambah lagi matahari seperti menggila begini; bisa-bisa dia mati kepanasan sebelum bahkan membuat gundukan.
"Tidak, terima kasih," dia ambil majalahnya dan siap-siap tidur lagi. Kira-kira kurang tiga inci lagi majalahnya sudah menutup muka, ada tangan kekar yang menahan tangannya sendiri. Dia lirik dari bawah majalah, ternyata tangan kekar itu milik si cewek yang sekarang mukanya menunjukkan tanda-tanda mau menangis. Dengan rasa takut si cewek bakal menangis betulan, dia mengangkat tubuhnya lagi, sambil memutuskan, "Kubantu, deh."
Kali ini Aaron sangat yakin tampang mau menangis tadi itu hanya bohongan, karena tidak sampai semenit dia menutup mulutnya, si cewek tersenyum lebar-lebar. Sebenarnya, jauh di dalam hati kecilnya yang penuh rasa malas dan ketidaksukaan, diam-diam dia ikut merasa senang karena tawa konyol cewek itu. Dan untuk informasi saja, ini pertama kali dalam hidupnya, hatinya yang sudah berdebu itu merasa seperti ini.
Aaron pertama-tama menggulung majalahnya, dan digenggam erat-erat. Dia tatap lagi si cewek aneh dengan tatapan lelahnya, "Aku juga tidak bisa bikin istana pasir. Kita cari orang yang bisa saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
By The Ocean
Short StoryMusim panas sudah tiba! Bicara soal musim panas, pasti ada beberapa hal yang pastinya tidak boleh ketinggalan. Laut, es krim, bola voli, istana pasir, dan--ehm--cowok-cowok keren, pastinya! ;Kumpulan 10 cerpen tentang hari yang panas di lepas pantai...