Di Atas Bangku Pink

30 2 0
                                    

"Lututku berdarah."

***

"Lututku berdarah."

Jared kira, apa yang bakal dia dapat setelah bertanya, "Kenapa?" adalah "Tidak apa-apa, kok," atau mungkin sebangsanya. Maksudnya, separah apa, sih, yang bisa disebabkan sedikit sentuhan pasir? Si cewek bukannya membantah seperti ekspektasinya, malah diam saja di tanah, menatap lukanya dengan tingkah sok menyedihkan. Jared tidak tahan untuk tidak memutar mata. Lagi pula, ceweknya itu bodoh sekali, tersandung ember plastik yang jelas-jelas ada di depannya. Kali ini, mungkin dia bakal memihak Si Bodoh Romeo karena alasannya mengemis plester lebih masuk akal. Tapi melihat lukanya, sudah pasti ceweknya lebih perlu bantuan.

"Seberapa parah, sih?"

"Tidak terlalu parah, sih," jawab cewek itu, tapi jalannya terpincang-pincang. Ini kode minta gendong, ya, maksudnya? Atau dia betulan tidak apa-apa? Jared menoleh ke belakang, meyakinkan dirinya untuk menggendong atau tidak. Sialnya—iya, sialnya—banyak orang yang melihat ke arah mereka. Dasar orang-orang penasaran sialan, ia mengumpat. Jangan salahkan dia—kalau begini, 'kan, dia harus menggendong cewek itu jadinya.

Dengan amat, sangat, super berat hati, Jared berjongkok di depan gadis itu, punggungnya ia tawarkan. "Sini, naik." Matanya ia putar tidak suka. Mana ada, sih, cowok yang suka menggendong ceweknya di siang bolong panas seperti ini? Mau dibilang bukan gentleman juga Jared rela-rela saja, asal tidak menggendong setumpuk daging berat itu.

Muka Jared hampir mencium pasir waktu setumpuk daging berat itu menaiki punggungnya. Matanya melotot keluar saking keras usahanya agar tubuhnya tetap seimbang. Bukannya bersimpati atau apa, si cewek bersenandung senang di dekat telinganya.

"Malah nyanyi-nyanyi sendiri. Dirimu nggak ringan, tahu." Jared menggerutu waktu langkahnya sudah dimulai lagi.

"Iya, aku tahu, kok."

"Kalau sudah tahu kenapa malah bikin orang susah?" Jared terus saja menggerutu. Sudah berkali-kali wacana untuk menjatuhkan pantat cewek itu di atas aspal mampir ke kepalanya. Di luar pantai sudah tidak ada orang, tidak bakal ada yang menilaimu cowok brengsek atau apa, kok, begitu kata setan kecil di pundak kirinya. Nyatanya, kakinya terus saja berjalan menuju bangku agak panjang yang dicat pink pastel. Agak menjijikan warnanya—membuatnya langsung teringat akan Si Liar Charlotte di rumah. Jujur saja, melihat warna itu saja langsung membuatnya bergidik ngeri.

"Ya... aku suka saja punggungmu."

Waktu cewek itu menjawab pertanyaan Jared yang sudah hampir kadaluarsa, Jared langsung berdoa. Tuhan, bantu aku. Jared berdoa dalam hati, tangan si cewek yang menggelantung dekat dadanya tidak merasakan debaran jantungnya yang sekarang sebelas-duabelas dengan orang mabuk disetelkan lagu-lagu Calvin Harris. Suka punggungku, katanya? Karena aku sering berenang, ya? Tidak menyesal aku berenang selama bertahun-tahun dengan para belut itu, kalau begitu.

"Bodoh," tiba-tiba celetukkan kasar keluar dari bibir cewek di punggungnya. "Kau percaya kata-kata murahan seperti itu? Demi Tuhan, Jared. Kamu ini cewek labil, ya?"

Kesal? Ya, jelas. Siapa saja bisa lihat, kok, lewat polahnya, kalau Jared kesal karena kalimat itu. Cewek itu bukannya ditaruhnya pelan-pelan di atas bangku berwarna pink menyeramkan itu, seperti yang ia rencanakan. Alih-alih, ia dudukkan si cewek dengan agak kasar. Aksinya menuai pukulan rupanya.

"Sakit, bodoh! Pantatku ini aset, tahu!"

"Ya, siapa suruh mengerjaiku?" Jared bertanya balik, topinya ia putar ke belakang.

By The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang