Romeo dan Bukan Juliet

43 5 0
                                    

***

"Punya plester?

***

"Punya plester?"

Romeo sedang berjalan di pasir mencari-cari orang yang punya plester melainkan berselancar di tengah laut sana. Ini salah Mikael. Waktu dia cari untuk diminta pertanggung jawaban, yang bersangkutan ternyata sedang kecan buta di atas bukit. Dasar belut.

Ceritanya begini. Romeo itu bukan peselancar yang andal. Memang, sih, dia sudah akrab dengan ombak—tapi di bawahnya, bukan di atasnya. Sampai umur segini juga dia masih tidak mengerti kenapa orang-orang mau mengendarai ombak. Untuknya pribadi, sih, lebih baik pergi kemana-mana menunggangi banteng rodeo. Karena ketidak mampuannya itu ia jatuh berkali-kali, kalah telak dengan ombak Pantai California. Dan sekali waktu, ia terjatuh dan terseret hingga ke tepian. Sebongkah karang pecah sialan menggores dan menciptakan luka di lututnya yang tidak tertutup celana surfing.

"Punya plester?" Romeo bertanya ke nenek-nenek yang sedang berjemur dengan cucunya. Tentu saja nenek itu tidak punya, apa, sih, isi kepalanya? Setelah berjalan sedikit lagi ke arah barat, Romeo bertemu lebih banyak orang, dan menerima lebih banyak gelengan kepala saat dia bertanya, "Punya plester?"

Sudah hampir mati dehidrasi dirinya, sampai tahu-tahu dia melihat fruit bar tidak begitu jauh di depan matanya. Tempat itu ramai—kemungkinan ada yang punya plester menjadi semakin besar. Dengan penuh semangat, ia jejaki lagi pasir panas. Semakin ia mendekat, semakin ia sadar bahwa fruit bar yang tadinya ia pikir tenang, ternyata penuh riuh-rendah orang-orang yang kehausan.

"Ehm... permisi," Romeo mengetuk meja di bar, berusaha menarik perhatian salah satu dan satu-satunya pelayan yang sedang bekerja. Cewek itu tampak kerepotan menangani pesanan-pesanan yang di luar kemampuannya. Tadinya Romeo hendak memencet bel hotel klasik yang ternyata ada di dekat tangannya, tapi dia sangat menahan diri untuk tidak melakukan hal itu. Tapi sekali lagi, ia angkat bicara. "Permisi," katanya lagi.

"Maaf, tapi kalau ingin pesan harus mengantri," cewek itu akhirnya merespon, dengan alis dikerutkan, tangan sibuk mengupas apel, dan mata waswas mengamati blender yang sedang menghaluskan nanas.

"Ehm... aku bukan ingin pesan jus, aku ingin minta plester. Kalau kamu punya, sih," Romeo tidak tahan untuk tidak khawatir soal apel di tangan cewek itu, dan nanas dalam blender karena cewek itu terus-terusan melirik kedua buah itu melainkan fokus ke mata hijaunya yang kata orang, sih, mengundang untuk ditatap.

"Aku punya, tapi aku agak sibuk. Tunggu sebentar," cewek itu benar-benar pergi meninggalkan Romeo yang sampai sekarang masih merasa denyut menyebalkan dari lututnya yang masih terekspos udara segar sampai sekarang. Sialan, ini luka.

Romeo baru menyimpulkan, menunggu sambil berdiri itu malah tambah menyiksa, jadi dia duduk di atas kursi bar yang tinggi. Berkali-kali ia lihat cewek itu mondar-mandir, mengambil ini, mengambil itu. Dalam hati kecilnya, yang ia anggap sensitif tapi Mikael tidak, ia ingin membantu cewek itu. Sumpah. Tapi dirinya sendiri tidak jauh lebih baik.

Dasar cupu, hati kecilnya yang sensitif mengejek dirinya sendiri.

Apa? Aku juga bukan dalam kondisi bisa membantu, tahu, ia melempar argumen untuk hati kecilnya yang tahu-tahu saja agresif.

Kamu belajar jadi belut begitu dari siapa? Mikael, ya?

Dibilang aku nggak bisa bantu. Kalau memang nggak bisa, mau apa?

Tapi itu, 'kan, cewek. Kamu nggak kasihan?

Kasihan, sih.

Romeo menggigit-gigit kecil bagian dalam pipinya waktu memutuskan membantu atau tidak. Saat dalam pikirannya berkelebat, Ah, sial, ia bangkit dari kursi bar-nya, dan memutari toko untuk masuk ke dalam. Kalau melihat dari balik konter seperti ini, ya, memang horor juga situasinya. Cewek yang dari tadi masih bolak-balik itu belum sadar Romeo menyusup ke dalam bar-nya. "Hey," Romeo menyentuh pundak cewek itu, membuat atensinya berpindah dari blender yang sedang menghaluskan melon, ke matanya. "Biar kubantu, deh," cowok itu tidak bisa berkata panjang karena salah tingkah, dan matanya menatap lantai kayu berpasir di bawah kaki telanjangnya. Tadi dia kesal karena matanya tidak dilihat lawan bicaranya—sekarang siapa yang menghindari kontak mata?

By The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang