Sir Abraham McCanine

22 2 0
                                    

***

"Waktunya tidur siang."

***

"Waktunya tidur siang," Seth hampir menyenandungkan kata itu alih-alih mengucapkannya, lantaran rasa senang yang meluap-luap. Dia suka pantai ini. Paling suka pada anjing golden retriever yang tadi sempat main dengannya sebentar. Hanya sebentar, sih, cuma main lempar-tangkap beberapa kali saja. Tapi anjing itu lucu—hampir saja Seth jatuh cinta.

Tapi lebih suka lagi karpet tipis garis-garis putih-biru yang ada di bawah naungan payung jumbo di depannya—sebentar lagi, predikatnya adalah tempat tidur siang Seth.

Sebetulnya dia agak waswas, tidur siang sendirian seperti ini. Tapi, masa' dia mau mengganggu 'kencan kecil tak direncanakan'-nya Aaron? Itu, 'kan, pasti buat Aaron rasanya sama seperti kalau si Romeo mengganggu waktu mainnya dengan para anjing besar kesayangannya.

Ah, tapi tidak apa-apa, kok. Paling-paling, orang takut duluan kalau melihat perutnya yang bagus, dan lengannya yang kecil tapi kuat. "Kalau begitu aku tidur tidak pakai baju saja," ia senandungkan kalimat itu, dan tanpa banyak kata, kaos tipis abu-abunya yang tak berlengan ia tanggalkan.

"Hehe, sinar mataharinya hangat." Sekarang, tanpa rasa khawatir lagi, Seth menjejak mantap karpet garis-garis putih-birunya. Sinar matahari yang menyenangkan di atas kulitnya terhalang si payung jumbo, membuatnya agak sedikit sedih karena berpisah dengan si matahari.

Dalam posisi telentang, ia menjulurkan tangan kanannya ke atas, melambai pelan. Ia berbisik, "Selamat tinggal sebentar, matahari. Aku ingin tidur."

Seth tersenyum sebelum menutup matanya. Sekarang, burger, roti lapis, piza, es krim, dan segala macam hal yang membuat liurnya terbit muncul dalam otaknya. Bahaya—bagaimana dia bisa tidur kalau setan-setan itu membuat perutnya terus berkukuruyuk? Dalam lima menit, hampir bisa Seth singkirkan setan-setan kecil itu satu-persatu. Tentu saja sebelum ada yang menjilat jemari kakinya.

"Hei!" Ia duduk tiba-tiba, membuat yang menjilati kakinya kaget.

Astaga.

Astaga.

Ada golden retriever super besar yang menatapku dengan tatapan 'Main, yuk!'

"Halo, anjing kecil," tanpa bisa ia tahan, kedua tangannya bergerak menggaruk-garuk leher anjing itu.

"Oke, mungkin salah—halo, anjing besar!"

Anjing itu menggonggong sekali, dua kali keras-keras. Lidah panjangnya terjulur keluar, menjilat dagu Seth dengan sayang. Oke, Seth pastinya jatuh cinta dengan anjing yang ini. Mana bisa, sih, orang tidak suka dengan anjing jumbo berhati lembut dan senang bermain seperti ini?

"Namamu siapa?" tanyanya pelan, masih menggaruk-garuk leher anjing itu. Tangannya kemudian merasakan sabuk kecil melingkar di leher hewan lembut itu.

Kalung anjing itu keren sekali—atau menurut Seth, sesuatu yang menurutnya berseru, "Boy howdy!" Kalung itu sangat—ehm, bagaimana cara mengungkapkannya? Kalung anjing itu sangat kebangsawanan. Warnanya merah, dari beludru yang dijahit di atas kulit asli. Pendannya adalah lempengan berbentuk lingkaran berlapis emas; entah asli, entah palsu. "Sir Abraham McCanine—itu namamu, ya?"

Guk! Gonggongan keras adalah jawabannya. "Kenapa kamu lari-lari sendirian?" Masa' anjing bagus seperti ini tidak punya empunya? Tapi, bukannya menjawab, si anjing malah berlari. "Lho? Kenapa kabur?" Seth menatap bokong anjing itu dengan mata sedih. Sial, padahal anjing itu tampan sekali. Kalau sudah begini, mau tidur siang juga tidak bisa. Mood-nya hancur karena ditinggal Sir McCanine tanpa jawaban.

By The OceanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang