04. Omonganku Menjadi Kenyataan

4.2K 137 21
                                    

Aku menyimpan foto dua anak kembar itu di kantong celana tidurku untuk menyelidikinya nanti. Siapa tahu foto itu berguna dan aku bisa tahu siapa anak-anak kecil itu. Aku pun kembali membaca bukuku, mengikuti yang lainnya. Kami semua duduk dekat perapian. Sampai kami tak sadar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Deng! Deng! Deng! Deng! Deng! Deng! Deng! Deng! Deng! Deng!

Suara jam yang berdetak sepuluh kali mengangetkan kami yang sedang serius membaca.

"Hah?! Ya ampun apa itu?" tanya Alifia kaget. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri.

"Itu suara jam tua, Alif," jawab Berliana tetapi kepalanya masih menunduk, fokus dengan bukunya.

Aku dan Raina pun berusaha untuk menahan tawa. Tetapi terlambat! Alifia sudah melotot dengan garang ke arah kami berdua.

"Heh! Berani ngetawain aku?!" tanya Alifia garang sambil berkacak pinggang.

Aku langsung memgangkat kedua tanganku. "A-ampun, bunda!"

"Ja-jangan marah dong, bun," kata Raina ikutan gugup.

Alifia hanya memutarkan kedua bola matanya kemudian melanjutkan kembali membaca bukunya tanpa mempedulikan aku dan Raina yang kembali menahan tawa sedangkan Berliana yang sedang terkikik geli.

Tak lama kemudian, Berliana dan Raina kembali meneruskan membaca buku lagi. Tapi, karena aku sudah selesai membaca bukunya, jadi aku berdiri dari dudukku dan mencari lagi mangsa baru alias bacaan baru.

Saat sedang asyik memilih-milih buku, tiba-tiba saja sebuah buku jatuh tepat di sebelah kakiku. Lalu menundukkan kepalaku kemudian menunduk untuk memungut buku itu.

Dengan perasaan sedikit janggal, aku pun membaca sampul buku itu kemudian membolak-balikan bukunya.

"Ber!" panggilku pada Berliana yang membuat cewek itu langsung mendongakkan kepalanya.

"Apaan?" tanya Berliana sambil mengangkat dagunya.

"Aku nemuin buku serem, lho," jawabku bersemangat sambil berjalan ke karpet bulu tepat di depan perapian. Sedangkan letak sofa-sofa yang sedang diduduki teman-temanku mengelilingi karpet bulu.

Raina mengangkat kepalanya, mulai tertarik dengan buku yang aku bawa. Sedangkan Alifia mengacuhkanku dan tetap membaca bukunya. Berliana yang sudah tertarik dari awal langsung berdiri dari kursinya, kemudian menyimpan bukunya di atas sofa yang tadi diduduki Berliana. Lalu berjalan ke arahku, dan langsung duduk di sebelah kananku.

"Buku apaan tuh?" tanya Berliana penasaran.

Aku tersenyum. "Ini tuh buku yang selama ini aku cari. Buku ini adalah buku paling seram yang pernah ada," jawabku dengan wajah yang dibuat-buat.

"Alah, lebay," sahut Alifia tanpa menatapku.

"Diem kamu bunda!" ujarku lalu meleletkan lidahku ke arahnya.

"Judulnya apa, Sal?" tanya Raina sambil berjalan ke arahku dan Berliana lalu duduk di sebelah kiriku.

"Misteri Rumah Keramat!" jawabku bersemangat. "Aku udah cari-cari buku ini ke mana-mana, tapi nggak pernah nemu. Soalnya bukunya rilis dua tahun lalu sih. Jadi, pasti-"

"Stop! Mau baca atau enggak?" potong Alifia yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Ah, ternyata kamu mau ikutan juga, Lif!" kata Raina meledek. "Padahal niat awalnya sih aku mau seret kamu ke sini."

"Seret? Memangnya aku kucing apa main di seret aja?!" tanya Alifia sewot. Sekarang dia duduk di depanku, di antara Raina dan Berliana.

"Udah ya, udah," kata Berliana menengahi. Kemudian, Berliana menatapku. "Karena kamu yang nemuin buku itu, jadi kamu yang baca ya," lanjutnya. Aku pun mengangguk menyetujui. Walau sebenarnya, aku sedikit ragu.

Misteri Rumah KeramatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang