16. Perlahan Menjauh

24.8K 1.8K 71
                                    

Suasana di ladang yang Alana pikirkan ternyata tidak sebagus yang ia duga. Mood-nya menurun karena pertengkaran kecil dengan Gita barusan. Bahkan, keempat cewek itu memisah. Alana dan Chelsea berada di bawah dan Gita serta Reina berada di atas. Pak Saman dan Pak Hasan pun bingung melihat keempat cewek itu yang sedang perang dingin. Namun mereka tidak mau ambil pusing dan lebih memilih untuk bekerja.

Mereka berempat diminta tolong untuk mencabuti sayur-sayur kol yang sudah jadi. Tak disangka, Alana sangat mahir dalam melakukan itu. Sudah banyak kol yang ia potong dan diletakkan ke keranjang. Sementara Chelsea, dahinya berkerut dan bibirnya juga maju karena sulit sekali memotong sayur kol dari tanah. Chelsea sih bisa melakukan itu, tapi butuh waktu yang lama.

Sementara Gita dan Reina justru bergosip tidak jelas di tempatnya. Mereka malah mendumel karena acara yang menurut mereka tidak jelas ini. Dan Gita tidak sudih kalau kuku-kuku indah berwarna biru miliknya harus kotor dengan tanah.

"Duhh, ini gimana sih caranya biar cepet? Kok susah banget," dumel Chelsea dengan dahi berkerut kesal. Keringat juga bercucuran dari pelipis si pemilik kulit putih tersebut. Alana terkekeh melihat wajah Chelsea yang sedang berkonsentrasi bercampur kesal memotong sayur kol yang tak kunjung tercabut.

"Nihh," Alana mengambil pisau yang Chelsea pegang di tangan kanannya, "kamu singkirin sedikit dulu daunnya ke atas biar batangnya keliatan. Abis itu, kamu potong deh batangnya. Tapi harus pake sedikit tenaga, sih." Alana mengajari Chelsea sekaligus mempraktikan caranya. Chelsea hanya mengangguk-ngangguk melihat Alana yang mahir memotong sayur kol tersebut.

"Aduh, istirahat dulu yuk Lan. Aku capek banget." Chelsea langsung duduk di atas tanah. Tak peduli celananya bisa kotor. Ia terlalu lelah.

Alana tersenyum lalu juga ikut duduk. "Iya ya capek. Ternyata pekerjaan mereka susah juga, ya."

Chelsea mengangguk. "Kita yang cabutin kol sebaris aja rasanya udah mau pingsan, gimana mereka yang harus cabutin sampe satu hektar?" Alana terekekeh dan mengangguk setuju. Tak bisa bayangkan betapa lelah sekaligus kuatnya para Bapak-Bapak itu.

"Alana, maaf sebelumnya," Alana menoleh ke arah Chelsea dengan penasaran, "kamu kok tadi bisa berantem sama Gita? Kamu punya masalah ya sama dia?"

Alana mendengus. Mendengar nama Gita membuat ia kesal. Sebenarnya, ia juga tidak suka harus bertengkar dan diam-diaman seperti ini dengan orang yang ia kenal.

Alana mengangguk. "Iya, Chel. Dulu dia kan deket sama Jona. Terus Jona ngejauhin dia karena alasan tertentu. Dan tiba-tiba aja Gita nyalahin aku, padahal aku gak ngehasut Jona sama sekali," Alana mendengus, "emang, Gita orangnya begitu ya? Suka ngelabrak orang?"

Chelsea mengangkat kedua bahunya. "Aku juga gak ngerti sama dia. Sebenernya, dia sih baik. Lebih baik dia daripada Kakaknya, Kak Cia. Kamu tau Kak Cia?" Alana mengangguk. "Iya, aku pernah dimarahin sama dia di kantin," jawab Alana lalu terkekeh.

Chelsea ikut terkekeh. "Aku juga pernah dimarahin sama dia di toilet. Kayaknya kalo belom pernah dimarahin sama Kak Cia, tandanya belom sekolah di Garuda." Alana terkekeh mendengar lontaran Chelsea.

Chelsea melanjutkan, "pokoknya Gita sama gengnya tuh begitu. Mereka sih emang anak-anak eksis. Tapi mereka nggak peduli sama temen-temen seangkatannya yang kurang deket sama mereka. Tapi kalo ada yang cari masalah sama salah satu dari mereka, bisa dilabrak deh."

Alana mendengus seraya menggeleng. Ia tak pernah bermaksud mencari masalah dengan Gita. Justru sepertinya masalah yang mencari Alana dan Gita.

--

Malam yang dingin menjadi latar waktu untuk Alana dan Chelsea yang sedang berjalan santai sekarang. Kegiatan dari pagi sampai sore yang padat, membuat mereka ingin merasakan ketenangan desa ini untuk sejenak. Kedua insan yang sedang tertawa itu berhenti begitu melihat Kendra dengan tegapnya dan wajah datar berdiri di hadapan mereka.

The Senior Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang