***
ADA suatu masa, dimana aku berharap bisa menjadi orang lain yang berbeda 360 derajat dari diriku yang sekarang.
Dan masa itu adalah saat ini. Dimana aku tengah menatap cermin di depanku dan berpikir ;
Mengapa aku tidak terlihat menarik sama sekali? Apa memang begini saja?
Tetapi, aku tidak mau menyalahkan gen orangtuaku yang sudah susah payah membesarkan anak tanpa keistimewaan yang berarti sepertiku. Maka dari itu, aku meraih kembali sabun pembersih muka standar milikku dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, aku keluar dari toilet siswi dan mendapati kalau lorong sekolah sudah sepi. Wajar saja, aku baru selesai meminjam beberapa buku novel di perpustakaan sekolahku dan itu memakan waktu cukup lama bagiku untuk memilih novel apa yang kuinginkan.
Saat itu, aku yang tengah sibuk merogoh saku untuk memastikan kalau kunci rumahku masih bersemayam aman di dalamnya, tidak menyadari kalau ada bahaya yang mengincarku.
"Eh! Woi yang di sana! Awas!"
Merasa terganggu dengan teriakan itu, aku menoleh dan melotot saat menyadari sebuah bola basket tengah menuju ke arahku.
Kalau kau mengharapkan adegan ala sinetron payah dimana aku akan terkena bola basket tersebut dan pingsan lalu seorang lelaki tampan membopongku ke UKS, kau salah besar.
Jelas, hanya orang bodoh yang akan diam di tempatnya dan tidak berusaha menghindar saat sebuah bola basket tengah menuju ke arahku.
Jadi, aku dengan refleks menghindari bola basket itu. Tetapi rupanya, apa yang kulakukan justru mengundang kesialan lainnya.
Prang!!
Kenapa apa yang kulakukan selalu salah?
***
Aku ingin menarik kata-kataku beberapa menit yang lalu. Sebut aku aneh, tetapi terjebak di ruang Bimbingan Konseling bersama orang yang kau sukai itu menyenangkan.
Ya, orang yang telah melempar bola basket salah arah itu adalah Adhysatya Dirga. Rupanya keajaiban yang kuharapkan telah datang, meskipun dengan cara yang tak lazim.
Sayangnya, meskipun aku senang karena takdirku bersinggungan dengan milik Satya, sebaliknya. Lelaki itu terus menerus mengulang kata 'maaf' pada guru kesiswaan di depan kami. Karena salah satu hal yang membawa Satya ke ruangan ini adalah ... aku.
Guru kesiswaan kami berkata kalau Satya telah membahayakan keselamatan siswi—yaitu aku—dengan bermain bola basket dengan sembarangan begitu. Sebenarnya aku ingin menyanggah perkataan guru tersebut dengan berkata, tak apa kok Bu, saya malah senang Satya melempar bola basketnya sembarang, tetapi aku masih cukup waras untuk tidak mengeluarkan kalimat itu dari kepalaku.
Setelah guru tersebut mempersilahkan kami keluar dengan terhormat dari ruang BK, aku yang masih diliputi kesenangan karena satu ruangan dengan Satya, dengan bodohnya memanggil lelaki itu tanpa berpikir dua kali.
"Satya!"
Sungguh, aku benar-benar ingin sekali saja berbicara dengannya. Maka dari itu, aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Meskipun aku sekuat tenaga berusaha menahan suaraku agar tidak terdengar gugup. Lelaki populer tidak suka gadis kikuk, bukan?
Lelaki itu menoleh, masih dengan tampang kusut sehabis diceramahi guru kesiswaan.
"U-um, gue Ralana, boleh kenalan?"
Aku yakin wajahku sudah semerah tomat busuk. Serius, darimana aku mendapatkan kepercayaan diri payah ini?
Satya terlihat linglung selama beberapa saat sampai akhirnya dia mengangguk tak yakin.
"Boleh, ehm, gue Satya," ujar Satya pada akhirnya.
"G-gue tau kok," ujarku bodoh. Masih berusaha mengendalikan detak jantungku yang sangat bersemangat ini sehingga berefek pada suaraku yang sedikit gugup.
Sial, mulutku benar-benar tidak bisa direm.
"Tau? Lo tau gue?" tanya Satya heran. Seolah dirinya adalah lelaki dengan label anti-sosial sepertiku, yang tentunya tidak sama sekali.
"E-eh, ya, lo sering ke kelas gue, lo udah mau pulang?"
Alasan payah, tetapi tak apa. Asal aku bisa berbicara dengan Satya.
Tetapi, aku bisa melihat kalau Satya terlihat enggan melanjutkan pembicaraan. Lelaki itu hanya ber-oh ria dan membalas,
"Iya, kalo gitu, gue duluan ya, ehm...."
"Ralana."
"Oke Ralana, gue duluan."
Hanya seperti itu. Tetapi cukup untuk membuatku tahu, kalau Satya tidak akan pernah menyukaiku. Maka dari itu, aku menatap punggung Satya yang perlahan menghilang, sambil berusaha keras untuk tidak menangis karena aku sadar aku masih cukup waras untuk tidak pulang ke rumah dengan mata sembab.
Rasanya ... benar-benar menyakitkan. Sampai-sampai, hatiku terasa nyeri.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Wallflower [Book 1]
Genç KurguBook 1 of Repentance Trilogy (END) [ a n o v e l l a ] Aku yakin kamu tidak pernah mengetahui bahwa aku selalu memerhatikanmu dari jauh. Hanya dengan melihatmu tertawa saja, sudah cukup untuk membuat hatiku menghangat dan membuat sisa hari...