10.

414 90 1
                                    

"Hari ini, langit melepaskan penatnya. Sekiranya, kaubisa memakai payung abu-abu di dalam lokermu."

***

Sungguh, kejutan darinya tidak akan pernah berhenti.

Sekarang, coba tengok ke arah loker. Mata menangkap sebuah payung kan? Berwarna abu-abu? Sesuai dengan isi surat? Pasti.

Pertama, yang dikatakan sang pengirim memang benar, bahwasanya tempat matahari terbit dan tenggelam itu kini sedang mengeluarkan tangisan. Tangisan yang mampu membuat orang resah dan cemas dalam satu waktu.

Kedua, kau adalah tipikal orang yang suka melupakan sesuatu yang kauanggap remeh, tetapi bisa menjadi penting di keadaan tertentu. Apalagi, masuk musim hujan sekarang ini, kau yang tidak suka akan ribet, memutuskan untuk tidak membawa persiapan. Yang penting bagimu bisa sampai ke rumah dengan cepat, maka dari itu terselamatkan. Atau paling tidak, menumpang dengan teman yang pulangnya hanya seorang diri.

Hei, tunggu, dari mana sang pengirim tahu kau tidak selalu membawa payung? Memang tidak dikatakan di surat, tetapi tersirat hal itu bukan? Siapa pun pasti tahu. Tidakkah sang pengirim dapat dikatakan seorang penguntit? Ia terlalu dalam mengetahuimu. Bahkan ia tahu buah kesukaanmu. Apa yang akan ia tahu lagi? Keluargamukah? Hewan peliharaanmukah? Atau ... kebiasaan burukmu?

Kau mereguk ludah, terancam panik. Kalau sampai ia tahu kebiasaan burukmu, bukankah itu juga buruk? Mending kalau cuma tahu sekadar cara makanmu yang kadang nyeplak, tidurmu yang kadang ngorok, atau kau yang sering membiarkan pakaian berhamburan di dalam kamar—sampai pakaian dalam pun terletak di mana-mana, tentu hanya di dalam kamar, tidak di ruangan lain.

Entahlah, kenapa jadi membahas aibmu yang awur. Ya, kauharap sang pengirim tidak mengetahui tentangmu dahulu. Mungkin, ada waktunya ia harus tahu. Eh, namun dalam kaitan apa ia harus tahu? Apakah, kaucoba untuk membangun ikatan dengannya? Untuk menjadi seseorang yang spesial?

Pikiranmu terlalu jauh, Nak.

Ah, sudahlah. Kau menggeleng pelan, menghapus pikiran absurdmu. Lantas, segeralah kaubuka payung, lalu berjalan keluar sambil menaungi diri dari rintikan air yang mengganas.

Sekonyong-konyong pundakmu terbentur, akibatnya tubuhmu condong ke belakang, berikut dengan kaki yang sudah menekuk. Badan yang hampir terjatuh spontan merasakan sesuatu yang melingkupi. Mata melirik ke bagian yang dirasa, mendapati sebuah lengan mendekap di sekitar pinggang.

  Tak lama, kepala terangkat, menangkap lelaki dengan rambut abu-abu tengah menahan tubuhmu yang setengah terjatuh.

Kau gelagapan. Payung yang sedari tadi masih setia, ditarik oleh gravitasi bumi, namun dengan cekat ditangkap oleh sang lelaki. Netra saksama melihat pelaku. Air terserap ke seragamnya, berikut dengan rambut basah yang dipenuhi oleh tetesan rintik hujan hingga mencukupi parasnya. Dapat dipastikan bahwa sang lelaki tidak menggunakan payung sama sekali.

Kau menahan napas kala bersirobok dengan manik yang serupa dengan rambut itu. Mulutmu terkatup, berikut dengan sang lelaki yang tidak mengeluarkan nada sama sekali. Selang beberapa saat, barulah kau tersadar. Serta-merta kau mengambil sedikit jarak dari sang lelaki. Lelaki tadi pun paham dengan implikasimu.

"Ah—arigatou, Mayuzumi-san," ucapmu berterima kasih.

  "Lain kali hati-hati," balasnya singkat sambil mengembalikan payungmu, lalu kau menatap punggungnya yang semakin menjauh karena berlari sambil melindungi kepalanya dengan tas sekolah.

Kau mengejap. Seingatmu, Mayuzumi membawa payung tadi pagi, tetapi kenapa ia basah kuyup begitu?

Ah—kau baru ingat, payung Mayuzumi kan juga berwarna abu-abu.

Letters [Mayuzumi Chihiro Version] [KnB]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang