P R O L O G

6.5K 370 4
                                    

Dengan lincah, tangannya melipat-lipat kertas itu hingga kertas itu membentuk sebuah pesawat kertas ala-ala. Senyumnya mengembang, merasa puas akan pesawat kertas buatannya walau berbentuk sederhana.

Ia keluar dari dalam kelasnya menuju lapangan, siap untuk menerbangkan pesawat kertasnya. Ia berdiri di atas mimbar yang dipakai untuk upacara setiap Senin. Ia membuang nafasnya melalui mulutnya tepat di moncong atau ujung pesawat kertas itu. Karena yang ia percayai, pesawatnya akan terbang dengan mulus setelah ia lakukan itu terhadap pesawatnya.

Ia mulai menarik ke belakang tangannya, lalu ke depan dengan melepas pesawat kertasnya. Lagi-lagi senyumnya melebar, ia menyeringai melihat pesawatnya terbang dengan mulus tanpa harus berbelok-belok.

Sampai akhirnya suara pekikan seseorang menginterupsinya, "Aw!" Pekik orang itu.

Orang itu membuang bola basket yang ia pegang dan mengambil pesawat kertas yang tergeletak di atas aspal lapangan basketnya, "Ini siapa yang main ginian sih?! Bocah banget!" Orang itu meremas pesawat kertas itu.

Ia berlari ke arah orang itu, "Jangan diremes!" Mukanya terlihat khawatir saat pesawat buatannya diremas. Saat pesawatnya diremas, ia juga merasakan bagaimana sakitnya pesawat itu.

Orang itu menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam, "Lo bocah banget tau gak sih! Nih gue balikin!" Orang itu memberikan pesawat itu kepadanya.

Ia menerimanya, "Maaf, aku gak tau kalau bakal kena kamu."

Orang itu tidak menjawab, melainkan orang itu melanjutkan bermain basket dengan teman-temannya. Akhirnya, ia lebih memilih pergi daripada harus mengganggu orang itu.

Rania emang bocah banget ya, batinnya.

Rania berjalan kembali ke dalam kelasnya, ia membereskan kertas-kertas yang tadi sempat ia bentuk menjadi pesawat kertas juga, memasukkan semua barang-barangnya ke dalam tasnya.

Saat sedang membereskannya, seseorang menepuk bahunya, "Ran? Mau pulang? Udah terbangin belum?" Tanya Ika, sahabatnya sedari SMP yang kebetulan satu SMA bahkan satu kelas dengannya.

"Udah, dan kena orang. Udah ah, aku bete," Rania duduk di bangkunya.

"Bete kenapa? Sini cerita sama gue," Ika duduk di sebelah Rania.

"Emang kalau anak SMA main pesawat kertas itu bocah banget ya?" Tanyanya.

Ika terkekeh lalu menggeleng, "Setiap orang kan punya kepribadian yang berbeda-beda dan hobi yang beda. Mungkin hobi lo main pesawat kertas, ya, bukan berarti lo bocah lah."

Rania menyunggingkan senyumnya kepada Ika. Ia sangat berterimakasih kepada Tuhan telah memberikan seorang sahabat seperti Ika yang mengerti kekurangannya yang memang sangat kekanak-kanakan ini.

"Masa tadi tuh, yang pake baju nomor 22 di lapangan, ngatain aku bocah pas pesawat aku nabrak matanya. Ya kan bukan salah aku juga. Pesawat aku aja yang suka sama dia," kata Rania.

Ika malah tertawa mendengar ucapan Rania, "Kena si Rolando?"

"Rolando? Emang nama dia Rolando?"

"Iya, masa lo gak tau sih? Dia kan eksis tau di sini. Lo kurang piknik nih, gih piknik," Ika tertawa lagi.

Rania memaksa tawanya untuk mengikuti tawa Ika, "Tapi serius, aku gak tau dia siapa."

"Yaudah jangan dipaksa untuk tau. Ngomongin tentang pesawat lo, kan lo selalu bilang, pesawat lo selalu mendarat di tempat yang tepat nih, siapa tau Rolando orang yang tepat," Ika tersenyum jahil.

"Tepat apanya coba? Tepat ngomelin aku nya? Kalau itu mah iya," tukas Rania. Ika hanya tertawa mendengar kalimat itu.

"Eh, bentar ya, Ran. Gue kebelet," Ika langsung ngibrit begitu saja ke kamar mandi yang dekat dengan kelasnya.

Saat sedang menunggu Ika, tiba-tiba seseorang datang, meminta sesuatu. "Ada di belakang, ambil aja," kata Rania sopan.

Orang itu beranjak ke belakang dan mengambil pengki yang akan ia pinjam. Tepat saat orang itu berada di ambang pintu, Rania lagi-lagi buka suara, "Maaf tentang tadi, Rolando."

Kedua alis Rolando terangkat, darimana perempuan ini tau namanya? Bahkan mereka kenal saja tidak. Rolando tidak menjawab, ia hanya diam dan berlalu begitu saja.

"Ish, ngeselin banget ah," katanya.

Sambil menunggu Ika, Rania mengeluarkan lagi kertas-kertasnya dan mulai membuat banyak pesawat kertas lagi untuk ia terbangkan nantinya.

| | | | |

Tangerang, 17 September 2016

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang