F O U R T E E N

1.8K 187 6
                                    

I'm much more me when I'm with you.

Benda panjang bergaris dua itu jatuh seketika setelah beberapa detik Rania memerhatikan benda itu. Mulutnya terbuka lebar saat melihat garis di benda itu ada dua. Tangannya menutup mulutnya yang terbuka itu. Matanya mulai terasa panas, cairan bening mulai melapisi bola matanya, siap untuk menetes kapan saja. Daritadi Ibu hanya mengelus-elus punggung Rania, berharap bisa menyalurkan rasa semangatnya pada anak sulungnya itu.

"Hiks..hiks..," daritadi Rania hanya menangis.

"Ran...?" Ibu tetap mengelus punggung Rania dengan lembut dan penuh kasih sayang. Rania menoleh ke Ibu dengan mata yang sudah mulai sembab, "Keluar yuk?" Ajak Ibu. Rania hanya mengangguk lemas.

Ibu merangkul Rania, mencoba membantu Rania untuk berjalan, karena Ibu tau, pasti Rania berat untuk menerima semua kenyataan ini. Sesusah ia melepaskan ayah Rania.

Di luar kamar mandi, ada Ayah, Rolando, Saddam, dan suami dari Ibu. Semua lelaki itu menunggu seorang Rania dengan perasaan yang sudah tak dimengerti lagi. Sedih, iya. Senang, iya, karena Rania sudah bisa berjalan. Bingung, iya.

Rania menundukkan kepalanya saat dirinya dan Ibu sudah berada di hadapan ke-empat lelaki itu. Air mata membasahi permukaan pipinya sedaritadi. Air mata itu sudah tak bisa ia bendung semenjak melihat hasil dari tesnya tadi.

Tangisnya tambah menjadi sesaat setelah ia melirik ke arah Rolando selama beberapa detik. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Rania sudah tidak tahu lagi bagaimana dengan nasib hidupnya. Ia mengandung janin yang bahkan ia sendiri tak tahu ayah dari janin itu.

Rolando menandatangi Rania saat perasaannya mengatakan bahwa Rania sebentar lagi akan tumbang. Benar saja, Rania hampir tumbang. Untungnya, Rolando sudah lebih dulu memegang kedua pundak Rania. Ia sangat amat khawatir dengan Rania, dan tidak pernah bisa berhenti khawatir semenjak ia mengenal gadis ini.

"Ran? Apa hasilnya?" Tanya Rolando lembut.

Rania memandang Rolando dengan mata yang berhias dengan cairan bening, menatap Rolando dengan tatapan yang ia harap Rolando dapat mengerti. Sementara, Rolando menatapnya dengan tatapan penuh harapan.

"Positif," kata Rania pelan. Sesudahnya, ia menangis lagi, lebih keras.

"Tenang, Ran. Tenang," Rolando menenangkan.

Ibu ikut menangis saat melihat anak sulungnya itu menangis, pun Ayah dan Saddam, yang posisinya adalah orang tua dan adik dari perempuan itu. Di tempat, Saddam menahan tangisnya agar tak pecah saat itu juga. Ia tak mau terlihat lemah.

Tak bisa menahan lagi, akhirnya Saddam berjalan keluar dengan cepat. Ia ingin memecahkan tangisannya, sendiri. Tanpa harus ada yang tahu.

Saat Ayah sadar Saddam berjalan keluar dan membanting pintu ruangan ini, Ayah langsung mengejarnya begitu saja. Takut Saddam melakukan yang tidak-tidak. Berbeda lagi dengan Ibu yang sengaja berjalan keluar dari ruangan itu untuk menenangkan diri. Papa mengikuti Ibu sekalian untuk menenangkannya.

Tinggallah Rolando dan Rania berdua, di dalam ruangan itu. Kini, Rania sudah berada di atas tempat tidur rumah sakit itu, dan Rolando duduk di sisi kasurnya. Rolando masih menatap Rania dengan tatapan teduh dan tatapan menenangkan. Sementara, Rania menggenggam tangannya satu sama lain dengan kuat.

Sesaat, Rolando melihat genggaman tangan itu. Ia membiarkan tangannya terulur untuk menyentuh tangan Rania yang lembut, dan ikut menggenggamnya. Ia mengelus punggung tangan Rania dengan ibu jarinya.

"Everything is gonna be alright," kata Rolando, berharap Rania dapat tenang.

Rania mengangkat kepalanya yang sedaritadi ia tundukkan, "Apanya yang akan baik-baik aja?" Tanya Rania dengan nada yang tak Rolando mengerti. "Nia baru 17 tahun, tapi Nia udah ngandung anak orang. Yang bahkan, Nia aja gak tau siapa ayahnya, Dodo!" Bentak Rania. Ia menundukkan kepalanya lagi dan mulai menangis, lagi.

Rolando mengulurkan tangannya yang satu lagi ke kepala Rania, "Sayang..," panggilnya. "Aku ayahnya. Aku," kata Rolando enteng.

Rania menggelengkan kepalanya, "Bukan. Bukan Dodo. Jangan biarin Nia jadi beban hidup Dodo. Mending Dodo pergi dan cari yang lain."

"Jangan karena aku baru 17 tahun juga, dikira aku gak bisa nafkahin kamu, loh. Tenang aja, Ran. Aku pasti berusaha untuk nafkahin kamu dengan uang halal," ucap Rolando.

"Jangan ngomong seakan-akan Nia udah nikah sama Dodo. Karena itu gak akan pernah terjadi. Sekarang, besok, atau selamanya," tukas Rania.

"Gak bisa. Suatu hari, hari-hari dekat ini, aku akan melamar kamu. Liat aja," tantang Rolando.

"Gak. Dodo sama yang lain aja. Yang masih suci," balas Rania.

"Siapa bilang yang lain banyak yang masih suci? Cewek polos kayak kamu aja digituin sama bajingan, apalagi mereka yang gak polos? Palingan juga mereka malah nawarin diri," di akhir kalimat Rolando tertawa sendiri.

"Ngaco, ah!" Rania memukul lengan Rolando. "Mereka kayak gitu kan untuk menuhin kebutuhan mereka."

"Kebutuhan nafsu?" Rania menganggukkan kepalanya dengan wajah yang sangat lucu. Rolando tertawa melihatnya, lalu ia mengacak lembut rambut Rania.

Ia menatap mata Rania begitu dalam, seakan mencoba menyampaikan sesuatu yang tak bisa disampaikan lewat kata-kata, tetapi tatapan.

Rolando tersenyum ke arah Rania, "Aku sayang, Ran, sama kamu. Jangan coba untuk pergi," Rania mengangguk ragu.

"Jangan khawatir, anak kamu lahir pasti dengan seorang ayah. Dan ayah itu adalah aku. Kamu, juga gak akan jadi single parent. Karena, ada aku," Rolando menyolek ujung hidung Rania dan tersenyum.

Perlahan-lahan, kedua ujung bibir Rania terangkat dan membentuk sebuah senyuman simpul.

Betapa beruntungnya Rania menemukan seorang lelaki seperti Rolando, walau awalnya harus melewati kisah yang pahit. Rania tahu, pesawatnya tidak pernah salah mendarat. Pesawatnya tahu apa yang terbaik untuk Rania, apa yang Rania butuhkan.

Seperti katanya, pesawatnya tidak pernah salah.

| | | | |

Tangerang, 28 Oktober 2016

SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA! SELAMAT HARINYA PEMUDA, HEHE. MARI LEBIH BERKARYA!❤❤❤

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang