S E V E N

2.3K 193 15
                                    

One person, thousand feelings.

"Ayah...," Rania mendatangi ayahnya yang sedang menikmati kopinya di balkon rumahnya bersama sang senja.

Ayah menengok ke arah Rania dan tersenyum, "Nia, sini."

Rania ikut tersenyum. Rania pun berjalan ke arah kursi yang berada tepat di sebelah ayahnya. Entah mengapa, Rania terlihat beda sore ini. Seperti lebih bersinar dan... salah tingkah.

"Kamu kenapa sih, Dek?" Tanya Ayah.

Rania menatap Ayah, lalu ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. Ayah menyipitkan matanya, seperti sedang penasaran pakai banget. Rania pun tertawa karena tatapan ayahnya yang membuat Rania tak bisa menahan tawanya.

"Hayo, kenapa? Lagi jatuh cinta ya?" Goda Ayah.

Rania jadi tambah salah tingkah sendiri, "Apa sih, Ayah!" Rania tertawa, membuat Ayah ikut tertawa.

"Ayah jadi inget...," Ayah menggantungkan omongannya.

"Inget apa, Ayah?"

"Inget waktu pertama kali Ayah jatuh cinta sama Ibu kamu. Indah banget kan kalau jatuh cinta?" Ayah tersenyum miris mengingat pertemuannya dulu bersama ibu dari Rania. Rania menganggukkan kepalanya.

Rania hanya diam, mendengarkan. Ia tau, ketika ayahnya sedang seperti ini, ayahnya hanya butuh didengarkan, walau Rania tak bisa membalas apa-apa.

"Tapi, pahitnya itu ya kalau pisahnya. Bener-bener gak kerasa, Dek," air mata menggumpal di ujung kelopak mata sang Ayah.

Rania memegang lengan Ayah, berharap ia dapat menyalurkan kekuatan dari dirinya. Berharap ayahnya tak menunjukkan sisi lemahnya. Ayah memandang Rania, Ayah memegang tangan Rania yang memegang lengannya. Ayah menepuk-nepuk tangan Rania.

"Kalau kamu jatuh cinta, jangan jatuh sejatuh-jatuhnya dulu, ya. Ayah gak mau kamu berakhir kayak Ayah, yang ditinggalin dan sampe sekarang masih jatuh cinta sama satu orang yang sama," Ayah tersenyum ke arahnya.

Rania menganggukkan kepalanya lagi, "Dan maafin Ayah, kamu jadi korban perceraian Ayah dan Ibu kamu. Ayah gak pernah mau sebenernya ini terjadi. Tapi ya gimana ya? Udah jalannya dari yang di atas." Ayah membuat senyum simpul, yang Rania tau bahwa itu bukanlah senyum ikhlas. Melainkan senyum penyesalan.

"Udah, Yah. Jangan dibahas. Kalau bahas itu sama aja kayak mengenang ulang masa-masa Ayah sama Ibu. Rania gak mau Ayah sedih. Ayah harus kuat. Di sini kan juga ada Rania. Oke?" Rania mengedipkan sebelah matanya.

Ayah tertawa, "Iya, Sayang, iya. Ngomong-ngomong, gimana kamu sama cowok si Rolando Rolando itu?"

Seketika sebuah senyuman terbit dari bibir Rania. "Um.. nanti Rania sama dia mau pergi bareng, Yah. Boleh?" Tanyanya dengan hati-hati. Takut-takut malah Ayah jadi marah.

Ayah malah terkekeh, "Boleh lah, Dek. Asal dia jagain kamu dan bener-bener sayang sama kamu. Kalau sampe Rolando Rolando itu nyakitin kamu, Ayah yang maju paling pertama buat kasih bogeman pertama Ayah sama dia."

Rania malah tertawa, "Iya, Ayah. Pasti!"

Dan di sore hari dengan suasana hangat itu, Rania menikmati waktu-waktu itu bersama sang Ayah. Ia menikmati setiap detik yang Tuhan berikan padanya untuk berkesempatan menciptakan kenangan baru dengan orang-orang terkasih di hidupnya.

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang