F I F T E E N

2K 170 1
                                    

I saw that you were perfect, and so I loved you. Then I saw that you were not perfect and I loved you even more.

9 months later

"Huf...hah...huf...," daritadi perempuan itu masih menahan rasa sakitnya karena mereka belum juga sampai di rumah sakit.

Lelaki di sebelahnya yang setia menggenggam tangannya pun menenangkannya sekaligus sesekali mengelus-elus punggung tangan perempuan itu, "Tarik nafas, ya, Ran. Bentar lagi kita sampe."

Rania mengikuti kata Rolando yang menyuruhnya untuk tarik nafas terus menerus. Hingga akhirnya, 5 menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit yang mana selalu mereka datangi untuk memeriksa kandungannya.

Saat itu, saat memeriksa kandungannya, Rania dan Rolando memutuskan untuk tidak ingin mengetahui jenis kelamin dari janin yang Rania kandung, ditambah tidak ingin tahu ada berapa janin. Sampai sekarang pun, mereka sama sekali belum mengetahuinya, karena mereka ingin, semua menjadi kejutan.

Suster rumah sakit itu langsung membantu Rolando dan Ayah yang sedang menurunkan Rania dari mobil. Suster itu dibantu oleh beberapa suster lainnya dan Rania langsung dibawa ke ruang bersalin rumah sakit itu. Rolando tidak ikut masuk ke dalam karena ia belum resmi menjadi suami Rania. Rolando akan menikah dengan Rania setelah Rania melahirkan, sesuai dengan janji yang telah ditentukan oleh orang tua dari kedua belah pihak.

Ayah lebih memilih untuk menunggu di luar, sama seperti Rolando. Jadi, di dalam Rania hanya sendiri. Mungkin akan ada yang menemaninya bila Ibu-nya cepat sampai di rumah sakit ini. Ayah berjalan bolak balik di depan pintu ruang bersalin Rania karena merasa sangat khawatir, apalagi ini kehamilan pertama Rania, Ayah tambah khawatir.

Setelah sekitar setengah jam menunggu, Saddam, Ibu dan suaminya sampai di rumah sakit. Ibu langsung izin masuk ke dalam tanpa berbicara panjang lebar. Sedangkan suaminya dan Saddam ikut menunggu di luar bersama kedua lelaki yang tadi membawa Rania ke sini.

Saddam mendatangi Rolando dan berdiri di sebelah Rolando, ia menepuk-nepuk lengan Rolando. "Tenang aja, kakak kuat kok. Pasti bisa."

Rolando menoleh ke arah Saddam, "Iya, gue tau. Pasti dia kuat kok," Rolando tersenyum.

"Untung lo nginep di rumah kakak, kalo gak, Ayah mana kuat bawa ke sini sendiri. Mana udah jam 11 malem lagi," Saddam tertawa di akhir kalimat, mencoba untuk melepas rasa cemasnya pada kakak tersayangnya.

"Iya, untung ya, Dam," Rolando ikut tertawa pelan.

Mereka semua setia menunggu Rania sampai 10 jam kemudian. Dan saat itu, Ibu keluar dengan senyum merekah yang sangat lebar. "Laki-laki," kata Ibu.

Ayah, Papa, Saddam, dan Rolando langsung ikut tersenyum lebar. Bahkan, mereka hampir menangis sama seperti Ibu.

"Nia juga baik-baik aja," tambah Ibu. "Do, sini masuk. Adzanin dulu anaknya," Ibu mengajak Rolando masuk.

Rolando langsung ikut masuk dengan Ibu ke dalam ruang persalinan untuk mengadzankan anak pertama dari Rania dan akan menjadi anaknya nanti bila ia dan Rania sudah menikah.

Rolando tersenyum dengan air mata yang sudah siap terjatuh saat ia melihat Rania sedang berbaring di atas kasur rumah sakit itu dengan anaknya yang sedang ia peluk. Rania ikut menatap Rolando yang sedang berjalan mendekat ke arahnya, ia pun tersenyum ke arah Rolando.

"Hei...," sapa Rolando dan langsung mengecup kening Rania, lalu menatap Rania.

"Hai...," sapa Rania balik dengan suara lemas.

"Aku gendong dulu, boleh?" Izin Rolando. Rania hanya mengangguk lemas, membiarkan Rolando mengambil bayinya dari dekapannya.

Rolando menggendongnya dengan sangat hati-hati karena ini pertama kali ia menggendong bayi yang baru saja lahir beberapa menit lalu. Dengan air mata yang meluncur dengan lancar, Rolando langsung mengumandangkan adzan tepat di telinga bayi itu.

Sesudahnya, Rolando langsung mengelus kepala bayi itu dengan lembut. "Hai, calon anakku...," bisiknya. Rolando tersenyum lagi dan lagi dengan cairan bening yang setia meluncur dari kelopak matanya.

"Namanya siapa?" Tanya Rolando pada Rania sambil menggendong bayinya.

"Wilargio...," gumam Rania yang masih dapat didengar Rolando.

"Belakangnya?" Tanya Rolando lagi.

"It's up to you," balas Rania lemas.

"Demitria," Rolando menatap dengan tatapan teduh ke arah bayinya. "Wilargio Demitria, panggilannya Gio, ya?" Tanya Rolando. Rania hanya menganggukkan kepalanya.

Dan pada hari itu, terciptalah sebuah kenangan baru dengan seorang anggota keluarga baru, Gio. Kebahagiaan yang tak ada tandingannya bagi Rania, sesaat setelah Gio keluar dari rahimnya sendiri, walau Rania sendiri tahu, Ayah dari Gio tidak jelas siapa dan darimana. Yang terpenting adalah, Rolando tetap berada di sisinya walau ia berada di saat terpuruknya, tanpa berfikir untuk meninggalkan sekalipun.

| | | | |

Tangerang, 4 November 2016

Paper PlaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang