chapter 6

56 4 1
                                    


Leherku sudah mulai sakit saat ku habiskan halaman terakhir novel. Aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku.

15.00
Hampir lima jam aku duduk dan membaca novel??. Apa ini keterlaluan??.

Aku baru merasakan kakiku seolah berat untuk digerakan. Aku sedikit memijat bagian leher belakang. Mengedarkan pandanganku ke arah seisi ruangan. Di meja utama reader yang memanjang di tengah ruangan hanya tersisa sekitar lima pembaca yang masih menekuni bukunya. Aku berdiri menuju rak buku mencari novel Ilana Tan berjudul Sunshine becomes you. Aku menggapainya di rak ketiga dari atas. Membaca sedikit sinopsis di bagian belakang buku.

Ok, akan kuambil. Oh sungguh tak sabar aku membacanya.

Aku berjalan menuju kasir. Mengambil beberapa lembar uang dari dompet. Dan memberikannya kepada kasir yang sepertinya umurnya lebih tua dua tahun dariku.

"selamat membaca" kasir itu memberikan bukunya padaku
"terimakasih" aku menerimanya, dan berjalan menuju pintu keluar. Aku melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 15.15

Masih cukup siang untuk pulang. Apa aku kerumah Yurika saja??. Tapi aku masih merasa kesal padanya. Mungkin saja dia tidak ada di rumah.

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang. Berjalan kembali menuju halte. Hanya menunggu beberapa menit, dan sebuah bus berhenti tepat di depan ku. Akupun masuk dan duduk di kursi paling belakang dekat jendela.

Lagi-lagi aku memikirkannya. Astaga manusia macam apa dia?? Selalu memenuhi ruang di kepalaku. Selalu merampas semua waktuku hanya untuk memikirkannya. Aku bahkan tidak bisa menghentikannya. Lalu mau sampai kapan aku harus merasa seperti ini?? Memikirkan seseorang yang bahkan Ia tak mengetahuiku. Memedulikan seseorang yang bahkan tak peduli padaku. Ah, menyadihkan sekali kau Ayana!!

Setengah jam berlalu, kini aku berdiri di halte dekat dengan rumah. Namun hujan masih saja turun. Aku mengambil ponsel dan menelephone Danny untuk menjemputku.

Aku duduk sambil memandangi sepatuku yang sedikit basah. Mengusap lenganku. Aku merasa kedinginan. Tapi aku menyukai hujan. Ya, hujan.

Jalanan hanya dipenuhi garis-garis kabur. Air-air itu sedikit menutupi orang-orang yang hilir mudik berjalan.

Tiba-tiba saja udara dingin hujan itu menusuk dadaku. Seolah ada ribuan jarum bersarang di sana. Mataku tak bisa mengedip. Ujung-ujung jariku seolah membeku. Tak bisa ku gerakan. Aku bahkan merasakan jantungku berhenti. Semua melambat. Saat kedua mataku melihat sosok laki-laki yang selalu menjadi inti dari pikiranku. Ia mengendarai motornya menerobos ribuan garis kabur itu. Ia tak menyadari keberadaanku. Ah yang benar saja. Ia bahkan tengah mengendarai motor dengan cepat untuk menghindari tetesan hujan. Walaupun itu sia-sia karena Ia sudah basah kuyup. Mataku terus mengantar Ia hingga dipandangan terakhir Ia tak terlihat lagi di ujung jalan raya sana.

Saat Ia sudah tak terlihat sedikitpun, aku mulai mengatur napas. Semua terjadi begitu saja. Aku bahkan tak bisa lagi merasakan dinginnya udara hujan. Astaga sekarang mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Ku rasa ini bukan hal yang pantas dikatakan oleh seorang siswi kelas tiga. Tapi sungguh aku merasakannya. Aku bahkan tak mengharapkan Danny cepat menjemputku. Biarkan aku di sini sampai malam. Tak apa.

He Gazed Into My EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang