Setiap manusia punya titik ketakutan terhadap sesuatu. Orang yang dibesarkan dengan pengalaman traumatis hanya seperti pohon tanpa buah, mandul. Besar tanpa tetap kerdil didalamnya. Saya mempunyai ketakutan yang besar akan kemarahan, tekanan dan teriakan. Saya dibesarkan dengan kata-kata kasar orang tua saya terutama ayah. Jujur saya akui saya benci dengan ayah saya, beliau manusia paling egois yang pernah saya kenal, dibesarkan dengan disakiti terus dengan omongan kasar membuat saya bersikap defensif dan introvert. Saya menyembunyikan kelemahan hati saya dgn sikap saya yang acuh, dingin dan omongan yang sinis. Keliatannya saya kasar diluar tapi sesungguhnya saya rapuh, saya hancur.
Hari ini adalah hari terburuk bagi saya, semua orang meninggalkan saya. Tidak ada teman, kekasih dan keluarga. Keluarga saya benar2 ditinggalkan. Ayah yang selama ini saya takuti adalah pecandu narkoba dan sedang dalam proses hukum srdangkan ibu hanya guru tk yang beliau sedang naik haji. Adik saya masih kecil, 17 tahun dan belum mengerti apapun. Saya marah pada takdir, saya kecewa dengan diri saya sendiri karena tidak berguna disaat saya diperlukan sebagai anak pertama.
Saya hanya dipandang anak pecandu narkoba dan residivis sedangkan saat sekarang saya tidak bekerja dan sedang menjalani pendidikan kuliah profesi saya. Saya berusaha survive dengan kemampuan saya. Tapi hanya karena saya tidak bisa memakai kendaraan saya dianggap tidak mandiri.
Saya menangis saat hal ini saya ceritakan ke anda. Hati saya hancur melihat semua hal disekeliling saya begitu meremehkan. Saya hancur ketika ibu baru pulang dari naik haji, saya hancur ketika ayah harus kumat penyakitnya dalam p3njara. Saat ini saya tidak mampu berpura-pura, saya benar2 tidak kuat.
Saya ingat dulu pernah m3nangis seperti ini saat smp, dimana saya dibully dan ayah kena struk dan lumpuh dan malam ebtanas saya diisi dengan makian ayah terhadap ibu, terhadap Tuhan, terhadap keluarga ibu.
Apa tidak boleh saya marah dan kecewa tidak mau menemui beliau dipenjara. Kami dibohongi. Bertahun-tahun. Tunangan saya yang selama ini mengurus semua hal ttng ayah. Saya hanya berusaha menyiapkan dirumah terkait uang buat dipenjara dan makanan serta obat beliau. Bukan apa2 saya tidak kuat menangis melihat beliau sakit2an tapi dipenjara, saya kecewa. Apa tidak boleh anak kecewa dengan orang tua.
Keadaan kami benar2 hancur saat ini. Saya hancur, ibu hancur, adik saya yang masa bodoh dgn keadaan dirumah belum lagi dia mewarisi kalimat2 makian ayah. Saya benar2 sakit hati.
Bahkan saking lelahnya dgn kehidupan ini saya tidak kuat untuk terus menangis hanya karena beras sebanyak 5 liter saya saya masak. Lucu bagaimana luka ini terus menganga seumur hidup. Lucu rasanya ketika semua hal yang benar2 diimpikan hancur.
Saya yang cari kerja tak pernah berhasil, tunangan saya yang yang mungkin diberhentikan semua karena saya tidak bisa mandiri, ibu yang uangnya hanya bersumber dari warisan kakek, sedangkan ayah yang dipenjara. Saya ingin tanya pada Tuhan, adakah yang lagi cobaan lebih berat lagi, Tuhan?
Apa sebegitu banyak cobaan akan membawa pada akhir yang indah, apa perlu saya jual diri hanya untuk makan, apa perlu saya kehilangan semua harta dan orang2 tidak pernah memedulikan kami semua, baru semua hal ini berakhir?
Kapan impian saya membahagian ibu trcapai? Kapan saya bisa diakui secara profesional? Kqpan cobaan ini berakhir Tuhan?
Jika manusia memang kembali ke tanah, maka benar saat ini saya memang ditanah, dan saya harus menampar diri saya untuk berhenti bermimpi.
Karena mimpi saya itu omong kosong. Tanpa kemampuan saya b3rkendaraan dan tanpa uang yg saya miliki.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segelas KOPI...
NonfiksiSetiap orang mempunyai keinginan dan cerita yang berbeda dalam hidup ini. Sadar atau gak ada hal sama yg menyamakan kita yaitu pelajaran hidup didalam kesulitan kepedihan. Ini ceritaku... Bagaimana ceritamu????