1st

45 3 0
                                    

Kara memasuki sebuah rumah dengan halaman super luas yang ditata menjadi taman kecil yang asri. Ada dua pohon berjarak tiga meter yang tumbuh sangat rindang di samping kanan rumah dengan sebuah kursi kayu sepanjang dua meter di bawahnya, serta sebuah ayunan dari ban besar yang diikat pada dahan tebal salah satu pohon. Tak lupa juga tumbuhan-tumbuhan hijau dan bunga-bunga yang memperindah tampilan rumah tingkat bercat putih itu.

"Anybody home?" Teriak Kara setelah ia menutup pintu masuk.

"Non Kara?" Sapa Bi Hesti. Perempuan paruh baya yang agak gemuk itu tengah menyapu lantai ruang tamu.

Kara mengedipkan matanya dan membentuk pistol dengan jempol dan telunjuk tangan kanannya, lalu membuka mulutnya sehingga menampakan deretan giginya yang rapi setelah dua tahun bertahan di bawah siksaan kawat gigi. Bi Hesti pun membalasnya dengan sebuah kedipan. Isyarat yang hanya mereka berdua yang mengerti.

Kara tersenyum girang dan berlari menaiki tangga ke lantai atas, menuju sebuah kamar yang dipintunya ditempeli stiker 'knock before enter'. Kara mengelengkan kepalanya sambil menepuk-nepuk stiker itu sebentar, lalu masuk ke dalam.

Perempuan itu melemparkan tasnya ke kasur yang serba biru, mulai dari alas kasurnya, selimut tebalnya, hingga sarung bantal-bantalnya. Ia membuka sepatu sepatu dan melemparnya asal.

"Ah!" Seru Kara setelah membuang tubuhnya ke kasur empuk. Ia berputar 180° dari posisi telentangnya. "Wangi," katanya setelah menghirup aroma selimut yang lembut.

Kara lelah karena Gesta yang selalu mengganggunya, padahal mereka sudah menginjak tingakatan terakhir masa berseragam, yaitu kelas 12. Kenapa laki-laki itu masih bertingkah konyol ala anak Sekolah Dasar? Entahlah. Kara tidak mau banyak memikirkannya.

Dilihatnya jam beker hijau yang ada di atas meja di sebelah kasur, bagai terhipnotis pergerakan jarum detiknya, lambat-lambat kelopak mata Kara menutup pelan. Napasnya menjadi teratur setelah lima menit kemudian.

Kita semua tahu, kini Kara telah memasuki satu-satunya alam yang bisa menjadi tempat pelarian dimana kita bisa melakukan semua hal diluar nalar yang kita sebut 'mimpi'.

***

Kara merasakan sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membangunkannya dari tidur lelapnya. Bahunya diketuk-ketuk oleh sebuah benda yang tak ia kenali. Panjang dan keras. Kara langsung memicingkan matanya ke arah yang berlawanan.

"Lo kira gue alien?"

Luka mengangkat bahunya sambil menaruh lagi sapu yang tadi ia gunakan untuk membangunkan Kara.

"Pulang."

Kara bangkit dari posisi telungkupnya menjadi duduk. Ia melirik jam tangan cokelatnya, sudah jam tujuh malam. Kara berdehem, "uhuk-uhuk! Aduh aus." Ia mengangkat sebelah tangannya seperti melambai meminta tolong, dan yang satu lagi memegang lehernya. "Mi-num?"

Luka mengambil sebuah botol hitam di atas meja belajar lalu melemparkannya ke kasur. Botol itu jatuh tepat di samping Kara. "Ih, jahat bener lo sama cewe cantik kayak gue." Omel Kara sambil mengambil botol itu. Ia membuka tutup botol dan meneguknya sedikit, lalu Kara melotot, "apaan ini, Luka!"

"Botol minum."

"Ahelah, Geblek. Isinya apaan?"

"Kiranti."

Mata Kara semakin melotot, bukan karena marah. Tepatnya kaget karena Luka penggemar 'Kiranti'. Ternyata sahabatnya dari SMP ini diam-diam..

"Jus wortel." Sergah Luka cepat sebelum pikiran di otak Kara bercabang kemana-mana. "Gitu aja gatau masa?"

"Gue kalo nyambut tamu mana pernah pake kiranti."

"Jadi?"

"Disalimlah, ditawarin minum."

"Si bego." Luka mengambil duduk di kursi putar meja belajarnya.

Kara terkekeh kecil, "Keluar sana, gue mau ganti baju."

"Ini 'kan kamar gue, Ra."

"Oh, iya. Gue pulang ya." Kara benar-benar baru sadar bahwa ruangan ini adalah kamar milik Luka.

Perempuan itu memungut dan memakai sepatunya, lalu berjalan keluar kamar. Kakinya berhenti saat ingin menuruni anak tangga pertama, ia berbalik lagi hendak menuju kamar Luka. Tak lama kemudian sebuah tas selempang cokelat terbang dari dalam kamar dan diikuti suara pintu ditutup dengan kasar.

Kara berjongkok dan mengambil tasnya, "panas banget ya udara malam ini." Ia mengipas-ngipas lehernya dengan tangan. Padahal baru saja ia ingin mengambil tasnya yang terlupakan itu.

Lalu ia berdiri.

"HAH! PANAS!"

***

23.10.16

VISIBILITY (Unseen Guard)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang