4th

22 1 0
                                    

Kara memasang earphone ke kedua telinga, lalu memutar sebuah lagu dari ponselnya. Sambil berjalan santai, kepalanya ikut bergerak sesuai irama lagu. Ia sengaja berjalan di lorong yang mengarah ke belakang sekolah yang sepi agar bisa menikmati es krim dengan damai tanpa cocol-cocolan jahil dari jari-jari kelaparan temannya.

"Ra!"

"Kara!"

Luka mengernyitkan dahi, suaranya sudah disetel mode toa tapi perempuan yang berjarak delapan meter darinya itu tidak menoleh sama sekali.

Laki-laki itu berlari beberapa langkah dan menarik lengan Kara sebelum perempuan itu sampai di ujung lorong.

Kara merasakan tubuhnya dipaksa berputar ke belakang dan --
"Es krim gue!"

Luka mengikuti arah pandang Kara ke samping, es krim vanila itu terdampar sejauh dua meter dari tempat mereka berdiri. Sedangkan cone-nya masih ada di tangan kanan Kara.

"Si bego! Diem lagi. Lo ngapain sih kasar banget?" Dahi perempuan itu berkerut pertanda ia tidak suka akan kejadian barusan. "Es krim gue--" cicitnya sedih.

Luka perlahan melepaskan cengkramannya pada lengan Kara. "Itu--"

"Apaan ita-itu?"

Luka merapikan letak kacamatanya. Ia bertingkah seperti orang kebingungan.

Kara memandang heran kepada temannya itu. Sekarang Luka sudah lebih tinggi jauh darinya sehingga ia harus mendongak. Padahal saat SMP tinggi mereka bisa di bilang setara.

"Apa-- itu--"

Kara memutar matanya. "Es krim, bagong."

"Iya-- tadi gue mau minta bagi es krim." Ucap Luka mantap.

"Lah? Udah jatoh, kalau mau silahkan--" Kara menatap es krim yang jatuh di dekat kandang anjing penjaga sekolah, "jilat."

"Si bego. Emang gue anjing?"

"Yaudin. Nih!" Kara menyodorkan cone yang kosong tanpa es krim. Luka dengan ragu mengambilnya.

Kara mengambil langkah menuju ke dalam pusat sekolah. "Mau kemana?" Tanya Luka.

"Kantin. Beli es krim." Jawab Kara malas tanpa menoleh ke belakang.

Luka hanya mengangkat kedua bahunya, lalu menggigit cone ditangannya. Dibuang sayang.

Laki-laki itu melihat sejenak ke ujung lorong yang hampir Kara lewati beberapa menit yang lalu. Ia berjalan perlahan, berusaha untuk menyantaikan langkah kakinya. Makin dekat ke ujung lorong. Dan bruk, Luka terjatuh akibat tali bening kecil tak kasat mata yang tiba-tiba meregang ke atas ketika ia melewati ujung lorong tersebut.

Luka yang tersungkur mencoba duduk lalu mengusap sikunya, matanya tertuju pada satu objek. Yang dibuang sayang ternyata takdirnya memang harus dibuang, cone yang baru sedikit tergigit itu mempunyai takdir buruk rupanya.

"Si buta dari goa banci." Satu kalimat itu cukup menyadarkan Luka yang terbenam dalam pikiran cone es krim. Luka mendogak dan merapikan letak kacamatanya. Oh, jadi beneran Gesta.

"Ganggu aja lo kerjanya! Syukur-syukur gue nggak pernah jadiin lo korban! Itu semua karna gue suka sama Kara dan lo temannya." Gesta menunjuk wajah Luka dengan telunjuk. Sementara Niko -yang membantu Gesta- hanya cuek dan menggulung lagi tali bening tadi.

"Ma--maaf."

Gesta terkekeh. "Tapi sekarang gue nggak suka lagi sama Kara dan anak cupu kayak lo empuk banget buat dibogem." Laki-laki itu tak memperdulikan permintaan maaf Luka. Ia menyeringai jahat dan menarik kerah seragam Luka hingga Luka mau tak mau ikut berdiri.

"Ma--maaf, Ges." Seharusnya lo yang minta maaf karna lo yang bikin gue jatoh.

Gesta melayangkan satu tinju ke pipi kiri Luka, membuat laki-laki itu kembali tersungkur untuk yang kedua kalinya.

"Males gue main sama anak cetek kayak lo, sana lo!" Bentak Gesta garang ke arah Luka.

Lo yang cetek karna pakai cara murahan gini buat lampiasin kemarahan cinta receh nggak berbalas lo itu. Batin Luka.

Ia berdiri dan berjalan kembali ke pusat sekolah. Laki-laki itu menggembungkan pipinya, lalu terkekeh, "Pukulan banci."

***

29.10.16

VISIBILITY (Unseen Guard)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang