12th

11 0 0
                                    

Lima hari yang lalu...

"Ma, Luka mau keluar hari ini."

"Tapi 'kan kamu masih belum sembuh benar, Ka," cegah mama Luka. Fee tidak dapat menyembunyikan wajah cemasnya sama sekali.

"Luka masih idup, Ma. Alisnya biasa aja, jangan lenjeh," tegur Luka santai.

Fee hanya bisa geleng kepala melihat anak semata wayangnya ini, ingin sekali ia mencegah agar Luka mau tinggal sampai tubuhnya benar-benar pulih. Fee bergegas keluar kamar lalu kembali lagi setengah jam setelahnya.

"Luka, kamu sudah boleh pulang, karena otot tubuh kamu yang terstruktur dengan baik, kamu bisa cepat pulih," kata dokter berkacamata yang berdiri di samping ranjang.

"Makasih, Dok," balas Luka singkat.

***

"Non?"

"Iya, Bi?"

"Den Luka di atas, di kamar."

Kara menganggukan kepalanya, lalu Bi Cassie permisi untuk kembali ke dapur dengan alasan Luka menyuruhnya untuk membuat jus wortel.

Perempuan itu mencibir. Ia duduk malas-malasan sebentar di ayunan yang dulu dibuatkan Luka untuknya. Bukan hal yang susah, hanya mengkaitkan dua tali tebal pada sebuah papan persegi panjang dan mengikatnya di dahan pohon di halaman belakang rumah.

Tak lama, ia langsung turun dan kembali ke dalam rumah. Menuju sosok yang menunggunya, di dalam mahkota rumahnya.

"Ngapain kesini?" Tanya Kara ketus.

"Gue kekunci di luar rumah."

"Ada juga rumah dikunci, bukan elo," jawab Kara yang masih berdiri di ambang pintu.

"Sama aja," jawab laki-laki yang sedang merebahkan tubuhnya di atas kasur.

Kara tak tahu, semua yang ia rasakan sekarang hanya emosi. Rasa marah kepada laki-laki itu. Ia tak akan mau menanyakan kondisi Luka sebelum laki-laki itu menanyakan kondisinya duluan.

Perempuan itu duduk di meja belajar, membelakangi Luka. Ia menyentuh apa saja yang bisa disentuhnya, mulai dari deretan pena, pensil, stabilo, dan manik-manik bekas tugas seninya beberapa minggu lalu.

Luka berdehem, "Anu- itu--"

Sadar momen yang ia tunggu, akhirnya Luka mengalah, dan hal itu membuat Kara ingin sedikit mempermainkan laki-laki itu.

"Apaan? Kebelet?"

"Bi Cassie-- jusnya lama."

Kara salah sangka, dia mengira Luka akan menanyakan kondisinya. Ternyata tidak.

"Bodo! Tanyain aja sendiri, 'kan lo yang mau jusnya, bukan gue!" Sembur Kara sambil memutar kursinya, menatap Luka geram.

Luka men-lock dan menaruh ponsel ke dalam saku hoodie-nya, dan bertanya, "Kok nyolot?"

"Terserah gue! Mulut juga mulut gue!"

Kara mulai mengipas-ngipas lehernya, entah suhu ruangan yang panas atau tubuhnya yang panas sekarang, yang pasti Luka baik-baik saja dalam hoodie abu-abu tebalnya.

Perempuan itu berdiri dan menarik lengan laki-laki itu, menyeretnya keluar kamar dan menutup pintu dengan kasar.

"Pulang! Gue mau tidur!" Teriak Kara.

Luka menatap pintu yang tertutup, ia dapat membayangkan bagaimana Kara berdiri dibalik papan tipis itu dengan alis yang sudah bisa menyamai lakban yang ditempel serong ke atas.

"Jus gue gimana?" Tanya Luka.

"Bodo! Bungkus kek bawa pulang! Bayar 10 ribu sama Bi Cassie!"

Luka tak menjawab lagi. Hening. Hanya terdengar suara langkah kaki pelan yang mengecil seiring ia menuruni tangga.

Kara sangat geram, Luka tidak menjenguknya di rumah sakit, tidak telepon ataupun mengirimkan pesan singkat. Laki-laki itu bahkan baru kerumahnya sore ini, padahal ia kembali dari rumah sakit kemarin malam. Apakah ini balasan Luka setelah Kara menyelamatkannya? Kara yakin ia telah menyelamatkan Luka dari amukan Gesta.

Mendadak pintu kamar Kara diketuk pelan. "Non? Ini Bibi."

"Masuk, Bi," jawab Kara malas-malasan.

Bi Cassie masuk dan meletakan sebuah gelas di atas meja belajar Kara. Perempuan yang mula-mula telungkup di kasur itu kini telah bangkit dan melihat Bi Cassie.

"Luka udah pulang, Bi."

"Bibi tahu, Non. Den Luka tadi pesan suruh buatin Non jus sayuran juga, katanya bagus buat pemulihan gitu, Non." Bi Cassie menjelaskan.

"Oh ya? Terus-- jus wortelnya gimana, Bi?" Tanya Kara yang berusaha mendatarkan ekspresi wajahnya.

"Den Luka minta dibungkus bawa pulang, Non."

"Terus-- ada bayar nggak, Bi?"

"Apanya, Non?" Bi Cassie bertanya balik sambil menggaruk keningnya, pertanda ia bingung.

Kara hanya menggelengkan kepala, malas untuk menjelaskan, lalu mempersilahkan Bi Cassie keluar.

"Kesambet setan apa tuh anak?" Kara terkikik sambil mendaratkan bokongnya di kursi meja belajar.

Ia meneguk sedikit cairan berwarna hijau itu, lalu bergumam bingung, "Kok-- rasa apel?"

***

23.11.16

VISIBILITY (Unseen Guard)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang