"Waktunya makan malem, princess mama," mama sejak jam delapan tadi tidak berhenti-henti mengetuk pintu kamar anak kesayangannya yang terkunci. Rasanya terlalu berlebihan jika mama memanggilnya dengan sebutan princess.
"Iza ngga mau makan," bantahnya, kesal. "Iza cuma mau main sama Rafly. Temen Iza satu-satunya disini."
Alena hanya menghembuskan nafas. Memikirkan cara agar anaknya mau makan malam.
Rasanya, perutku dari tadi terus menjerit-jerit memanggil makanan. Apa mungkin sebaiknya aku makan saja? Hhhh....terpaksa. Perut sih, pake acara laper segala.
Ternyata mama sudah menyiapkan makanan di atas meja seperti biasanya. Ayam kecap.
Sepertinya aku akan lahap makannya malam ini. Huh, memalukan.
"Makannya pelan-pelan dong. Atau, mama suapin yaa," Tanpa disadari, mama memperhatikan dari ruang tv. Sudahlah, tak usah peduli, Shareeza hanya bisa terdiam, terhanyut dalam lamunan.
Dengan perasaan yang bercampur aduk antara lapar dan kesal, ia berusaha menghabiskan makannya dengan cepat. Bukan karena tidak berselera untuk makan. Tapi karena dirinya merasa lapar. Kini, perutnya sudah tidak menjerit kelaparan lagi. Setelah selesai makan, ia langsungkembali masuk kamar dan mengunci pintu kamar agar tidak ada yang berani masuk. Walaupun hanya sekedar mengecek keadaan. Keadaan yang sedang tidak baik-baik saja.
Memandang langit dari jendela kamar sudah menjadi kebiasan Shareeza setiap malam. Malam yang gelap, sunyi, dan hampa. Seperti suasana hati yang dirasakan. Sehampa pikiran, segelap pandangan, hingga terlelap.
Aku berharap, mimpi ku tidak seburuk kenyataan yang ku jalani.
•••
"Huftt.. bosen libur terus. Main sama temen aja ngga boleh, gimana ngga bosen." Mengoceh sendiri rasanya lebih baik daripada harus perang lagi. Namun, dengan suara yang sedikit kencang agar mama mendengarnya.
Benar saja, mama mendengar dan memandang anaknya sesaat. Terlihat ingin menjawab, tapi sepertinya ia tak tahu harus bilang apa.
Sinar matahari pagi mulai mengintip di celah-celah jendela rumah. Embun pagi yang menyejukkan, mulai hilang setetes demi setetes. Seperti yang dirasakan olehnya. Ia merasa mood dalam dirinya kembali hilang sedikit demi sedikit. Hilang terbawa lamunan yang memikirkan betapa bahagianya jika bermain bersama teman. Seperti pemikiran anak kecil lainnya. Cobalah kau pikirkan. Betapa kesepiannya dia jika nanti seharian dirumah tidak ada siapa-siapa. Walaupun mamanya menyuruh menunggu di rumah Maudy, tetangga terdekatnya. Tapi, dirumah sendiri lebih nyaman ketimbang rumah orang lain.
Mama yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa iba kepada anaknya. Akhirnya, mama membolehkan bermain. Tapi hanya dengan tetangganya saja. Tidak dengan yang lain. Terutama Rafly. Meskipun tak sepenuhnya merasa senang tidak boleh bermain dengan Rafly, tapi menurutnya setidaknya bermain dengan yang lain bisa mengusir rasa bosan yang menghantui.
Baru saja melangkahkan kaki di teras rumah, sudah ada Maudy disana di tengah jalan sedang bermain sepeda. Sebenarnya, ia belum terlalu tahu mengenai anak itu. Hanya tau namanya saja. Itupun diberitahukan oleh mama, karena Mama dengan Mama Maudy sudah sangat akrab dari sejak SMP.

KAMU SEDANG MEMBACA
Biarkan Langit yang Tau
Novela JuvenilMemiliki sahabat yang sudah sangat erat layaknya lem dan kertas, sangat sulit dipisahkan. Begitu juga dengan yang dirasakan Shareeza dan Rafly. Kedua nya sangat dekat, sedekat nadi. Saling melukiskan warna indah pelangi di hati. Pelangi yang memilik...