Gue ingat ketika pertama kali gue bertemu dengan Alamanda.
Rasanya aneh, mengingat jeda antar usia kita yang hanya terpaut tiga tahun. Orang-orang bilang gue terlalu kecil untuk mengerti, tapi faktanya, benak gue merekam semua yang terjadi hari itu dengan rapi. Hari itu adalah hari berhujan, dimana Ayah membawa gue ke sebuah tempat. Bau antiseptik mewarnai udara, tembok putih berderet dimana-mana. Ada secercah rasa takut yang mengecupi perasaan gue, namun semuanya menghilang kala Ayah membuka pintu, dan gue melihat Bunda melambaikan tangan.
Dia begitu kecil. Begitu rapuh. Tidak lebih besar dari boneka beruang yang kerap gue peluk sebelum gue pergi tidur. Makhluk itu tidak mengeluarkan suara apapun. Matanya terpejam. Pipinya merah seperti semburat warna sakura di musim semi. Bunda masih tersenyum, tetapi gue menatap makhluk itu dengan aneh. Siapa dia? Kenapa dia ada disini? Dari mana dia datang? Kenapa dia hanya diam, tertidur dan mendengkur? Kenapa dia tidak berdiri dan berjalan seperti gue?
Lalu kemudian, makhluk itu bersendawa, disusul oleh kedua matanya yang perlahan terbuka. Bening, irisnya mengarah pada gue. Dalam sekejap, gue seperti kehilangan kata-kata. Dia masih memandang gue, seperti tengah mencoba meneliti. Kami seperti orang asing yang baru dipertemukan dan sedang berusaha mengenali satu sama lain. Gue sudah siap seandainya dia mengeluarkan suara-suara aneh atau bahkan tangisan. Bukannya bayi selalu seperti itu? Mereka menangis keras, menuntut orang lain untuk mengerti apa yang mereka maksud ketika mereka belum bisa berkomunikasi dengan jelas.
Tetapi Alamanda tidak menangis.
Bibirnya justru bergerak, membentuk sesuatu yang gue sebut sebagai tawa. Dengan ragu, gue mengulurkan tangan untuk menyentuh lengannya yang mungil. Lembut. Dan lagi, dia kembali tertawa.
Sejak hari itu, gue punya tambahan orang yang akan gue cari setiap gue pulang ke rumah selepas bermain. Bukan hanya Bunda. Bukan hanya Ayah. Tapi makhluk mungil dalam kain bedong berwarna merah jambu yang gue panggil Alamanda. Lantas waktu berjalan. Dia merangkak. Berjalan. Bicara. Ada yang meleleh di hati gue ketika dia memanggil 'Kak Lea' untuk yang pertama kalinya. Seperti ada fase baru yang terlewati. Gue ingin memeluknya, meraihnya ke dalam dekapan gue, namun waktu itu gue hanya tersenyum sambil menusuk pipinya yang tembem dengan jari telunjuk.
Lalu gue mulai masuk sekolah. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. Alamanda yang waktu itu baru berumur empat tahun tidak pernah absen mengantar gue sampai gerbang tiap pagi. Bersama Ayah, jika kebetulan beliau sedang libur. Atau bersama Bunda. Alamanda akan melambaikan tangan, menyemangati gue sebelum gue berjalan melewati gerbang seraya mengucapkan janji kalau dia akan kembali menjemput gue nanti siang. Hari berlalu. Dan pada akhirnya, gue pun melakukan hal yang sama ketika Alamanda masuk ke sebuah taman kanak-kanak. Gue akan mengantarnya sampai pintu depan bangunan sekolah taman kanak-kanaknya—tentu hanya jika gue sedang libur atau mendapat jadwal masuk sedikit lebih siang dari jam biasa.
Rasanya hidup gue tidak bisa lebih sempurna lagi. Gue punya Bunda yang tidak pernah luput menyajikan masakan enak di meja makan. Gue punya Ayah yang selalu menyempatkan diri mendongengkan cerita tentang puteri dan pangeran dari antah-berantah sebelum kami pergi tidur. Gue punya Alamanda, yang lebih dari hanya sekedar adik perempuan. Dia adalah teman. Bahkan mungkin, satu-satunya sahabat terbaik yang pernah gue miliki.
Kemudian mimpi buruk itu datang.
Ayah menghilang. Pergi begitu saja. Alamanda tidak mengerti. Dia terus-menerus bertanya dimana Ayah berada, yang akan diakhiri dengan pecahnya tangis Bunda. Bunda tidak pernah bicara, tapi diam-diam gue tahu. Ayah sudah pergi, bersama orang lain. Cintanya yang baru, entah siapa itu. Perih terasa menusuk, pelan-pelan merayap dalam dada dan menetap bertahun-tahun disana. Kehidupan gue seperti limbung. Keseimbangan menghilang. Gue sempat berpikir untuk menyudahi semuanya, kalau saja gue nggak ingat gue masih punya tanggung jawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE QUARTZ
Romance[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. Hanya kisah tentang seorang astronot bernama Adrian, yang menolak berada di luar orbit sebuah galaksi yang dia namai Azalea