#31

52.9K 6.6K 1.1K
                                    

Sampai berapa lama seseorang bisa menunggu?

Untuk yang kesekian kalinya hari ini, pertanyaan itu kembali terlintas di benak Azalea. Semua karena sebaris pesan singkat dari Adrian yang dia terima pagi tadi—tepat sesaat sebelum pesawatnya akan take off menuju Kepulauan Fiji. Pesan itu pendek, tapi sarat akan muatan rindu—yang entah kenapa tidak pernah berkurang walaupun dua tahun sudah berlalu.

Ah ya, dua tahun sudah berlalu sejak percakapan terakhir mereka di apartemen Adrian. Orang selalu bilang bahwa desir waktu berlalu tanpa terasa. Namun tidak bagi mereka yang tengah saling menunggu satu sama lain. Setelah telpon tidak terduga dari sebuah agensi yang Azalea jawab di terminal bus dua tahun silam, hidupnya telah banyak berubah.

Dia bukan Azalea yang kerap menggendong ransel macam pendaki baru saja turun gunung seperti yang sering Faris ejek. Dia bukan lagi gadis yang bekerja paruh waktu di sebuah toko bunga. Dia bukan lagi gadis yang hanya bisa menatap kagum sekaligus jengah pada beragam macam kemewahan yang terpajang di balik layar televisi atau lapisan bening kaca sebuah toko merek ternama. Seperti kembang api di malam tahun baru, kariernya melejit lebih tinggi jauh dari apa yang semula Azalea perkirakan.

Pada enam bulan pertama dia berada dalam agensi modelling itu, dia berhasil mendapatkan cover Nylon pertamanya. Semua orang tertarik pada background ceritanya yang tidak biasa. Tentang masalah yang menerpa keluarganya, kematian adik perempuannya dalam sebuah insiden kebakaran tragis, kuliahnya yang mendadak terputus di tengah jalan sampai berbagai macam artikel cerdas hasil tulisannya yang berada di salah satu kanal situs berita ternama. Mereka memandang Azalea sebagai sosok teguh yang cantik dan berpendidikan. Sekalipun kegiatan akademiknya di perguruan tinggi harus terhenti begitu saja.

Hanya Azalea, tanpa seorangpun sosok istimewa di sampingnya.

Dalam setiap artikel yang dirilis tentang dirinya, Azalea tidak pernah sekalipun menyebut nama Adrian. Kenangannya bersama pria itu terlalu berarti untuk dibagi. Anggap saja dia egois, tapi dia ingin menyimpan semua memori itu untuk dirinya sendiri. Mereka masih kerap berkomunikasi, pada bulan-bulan pertama pasca percakapan mereka di apartemen Adrian sore itu. Tapi jarak antar frekuensi kian melebar, sebagian besar adalah imbas dari kesibukan masing-masing.

Pada enam bulan pertama Azalea mulai membiasakan diri menerima profesi yang tidak pernah dia bayangkan akan dia pilih menjadi pekerjaannya, Adrian sempat menelepon. Cowok itu bertanya tentang kemungkinan Azalea hadir ketika dia wisuda. Azalea balik menanyakan tanggal, dan begitu Adrian menjawab, bahunya langsung melemas. Pada hari itu, dia tidak akan berada di Jakarta. Ada sesi pemotretan di Bali untuk katalog baru sebuah merek aneka baju dan celana denim buat remaja.

Adrian mengerti. Dan dia berbesar hati.

Atau terlalu banyak mengerti. Dan terlalu sering berbesar hati.

Karena hari ini pun, Azalea masih tidak tahu harus membalas pesan singkat yang Adrian kirimkan dengan jawaban macam apa. Cowok itu telah menunggu dengan sabar selama beberapa tahun belakangan. Tanpa sempat benar-benar bertemu. Hanya saling berkomunikasi via suara—yang mana sangat jarang terjadi mengingat kesibukan keduanya. Dunia yang sesungguhnya terang saja tidak bisa dibandingkan dengan situasi ketika mereka berdua masih mahasiswa—waktu menyedot apa yang mereka punya, dari mulai tenaga, masa senggang hingga tawa. Semuanya atas nama kemampuan hidup dengan standar tinggi ala ibukota.

"Something bothering you, missy?"

Azalea tersentak begitu dia mendengar suara dari seseorang. Suara itu milik Cindy Chou, salah satu makeup artist langganan agensi Five & Six. Tangannya masih bergerak lembut, menyapukan kuas berlumur bubuk perona pada pipi Azalea.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang