"Satu hal yang selalu gagal aku sadari adalah tentang waktu." Azalea berujar sesaat setelah dia menghempaskan tubuh di atas kursi meja rias. Lewat pantulan pada cermin, Azalea tahu kata-katanya membuat Adrian menoleh. Gerak tangan Adrian yang tengah melepaskan dua kancing teratas kemejanya mendadak terhenti.
"Hm, what do you mean, crybaby?"
"Waktu berlalu begitu cepat. Nggak kerasa, teman-teman kamu yang dulu kekanak-kanakan sudah nggak kekanak-kanakan lagi. Nggak kerasa, cewek cablak yang hobi ceplas-ceplos waktu kamu masih kuliah dulu sudah jadi seorang ibu." Azalea menghela napas sambil melepaskan anting-anting dari telinganya, lantas tangannya ganti meraih botol makeup remover. "Aku iri sama dia. Banget."
Adrian berjalan mendekati Azalea diiringi tarikan napas panjang. Kemudian lelaki itu berlutut di dekat kursi rias, mengambil alih kapas berlumur makeup remover dari tangan isterinya. Azalea tidak menghindar ketika Adrian membersihkan jejak-jejak perona pipi yang masih melekat di wajahnya dengan satu sapuan lembut.
"Kita udah pernah ngomong tentang ini, Lea."
"Aku tau. Aku hanya bilang kalau aku iri."
Adrian tak menjawab walau tangannya tak henti bergerak. Rona warna yang tak alami perlahan hilang dari bagian-bagian wajah Azalea, mulai dari pipi, mata hingga bibirnya. Tetapi Adrian jelas tetap akan jadi orang pertama yang selalu mengatakan bahwa tidak peduli sepucat apapun, tanpa makeup atau tidak, seorang Azalea Pramudita akan selalu jadi yang tercantik buatnya.
"Kamu nggak iri? Atau emang nggak pernah ingin jadi Ayah?"
"Bukan begitu. Kalau kamu tanya aku kepingin atau nggak, jelas aku kepingin. Nggak ada laki-laki yang nggak mau jadi Ayah, Lea. Terutama kalau mereka punya istri seperti kamu." Adrian tersenyum tipis. "Tapi kamu tau, kita nggak bisa."
"Bukan kita. Tapi aku."
"Aku nggak suka kalau kamu ngomong seolah-olah semuanya salah kamu."
"Atau mungkin memang nggak ada yang salah," Azalea membalas cepat. "Masalahnya cuma karena kamu nggak pernah berani mencoba."
"I'm not a gambler. Dan kalau risikonya adalah aku mungkin kehilangan kamu, aku lebih memilih untuk nggak mencoba sama sekali."
"Everythings gonna be alright, Adrian. Sekali aja. Coba sekali aja. Please?"
"What a demanding cry baby." Adrian menyentakkan kepala, meletakkan kapas lembab yang kini permukaannya kotor oleh warna-warna makeup yang semula melekat di wajah Azalea. Lantas dengan sudut ruas jari telunjuknya, dia menyentuh pipi gadis itu. "Kamu harus cobain gimana rasanya saat kamu melihat orang yang kamu sayang terjebak dalam situasi antara hidup dan mati."
"I'm not going to die, hubby."
"Rasanya nggak enak." Adrian seolah mengabaikan ucapan Azalea. "Kalau bisa, aku nggak mau mengalami itu lagi."
"Adrian Cetta Arsenio,"
"Lagipula, memangnya punya anak harus selalu berarti anak kandung? Nggak juga, kan? Ada banyak anak-anak kurang beruntung di luar sana. Gimana kalau kita adopsi aja?"
Azalea mengembuskan napas pelan. "Aku harusnya bisa nebak kalau nggak peduli seberapa keras usahaku, kamu bakal tetap menolak."
"Karena aku nggak bisa kehilangan kamu. Peristiwa kecelakaan waktu itu adalah yang pertama dan terakhir. Aku nggak mau ngeliat kamu kayak gitu lagi." Adrian berkata sembari beranjak dari posisi berlututnya. Tak lupa dia memberikan satu kecupan ringan di sisi kepala Azalea sebelum bergerak menuju pintu kloset kamar mereka untuk berganti pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE QUARTZ
Romance[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. Hanya kisah tentang seorang astronot bernama Adrian, yang menolak berada di luar orbit sebuah galaksi yang dia namai Azalea