Adrian tidak mengatakan apapun soal tindakannya yang pergi tanpa pamit ke rumah Ayah Azalea menjelang tengah malam, namun ketika gadis itu bangun keesokan harinya, dia tetap tahu. Tentu saja. Siapa yang dikiranya akan bertanggung jawab soal zipper clutch berisi gambar Alamanda—yang hilang begitu saja tanpa jejak dari atas meja? Adrian tengah berdiri di balkon, menatap pada hamparan jingga langit Kota Jogjakarta di kala subuh ketika Azalea melangkah mendekatinya dengan mata masih digelayuti kantuk.
"Adrian,"
Adrian tidak langsung menjawab. Cowok itu membuang beberapa detik untuk menyesap teh hangat dalam cangkir. Jenis layanan kamar yang tidak akan diantarkan jika Adrian tidak memintanya—dan tentu akan terkena charge biaya ekstra untuk itu.
"Good morning."
"Don't good morning me." Azalea menarik napas. "Gambar Manda. Lo simpan dimana?" Agak janggal untuk langsung menebak kemana Adrian membawa gambar tersebut, tapi orang ini adalah Adrian. Azalea sudah mengenalnya cukup lama—oke, mungkin tidak terlalu lama—tetapi jelas dia tidak sebodoh itu hingga tidak bisa menebak kemana Adrian mungkin akan membawanya. Adrian bukan tipikal orang yang suka bercanda dengan menyembunyikan barang. Candaannya adalah jenis canda yang akan jarang sekali membuat orang lain tersinggung—karena dia memang sepengertian dan semenghargai itu.
Adrian menghabiskan beberapa jenak untuk menatap lurus ke depan, pada langit yang berangsur-angsur semakin terang menyambut datangnya matahari yang hendak bangkit dari peraduan. Waktu yang cukup bagi Azalea untuk mengamati kesempurnaan wajah cowok itu. Segala lekuk pada dirinya terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Seandainya saja dia tidak berkedip... seandainya saja rambutnya tidak bergoyang ditiup angin... akan sulit membedakan apakah dia manusia atau patung lilin hasil karya maestro seni ternama.
"Adrian, jawab gue." Azalea mendesak, nyaris dengan nada setengah memohon yang membuat Adrian berdehem sebelum menolehkan kepalanya untuk memandang mata gadis itu. Tatapannya lekat. Tetapi tidak hangat seperti biasanya. Ada dingin membias disana, seperti iris hazel itu tengah menyimpan rahasia.
"Lo butuh tidur lebih banyak." Katanya pendek, perhatiannya terarah pada bayangan hitam di bawah mata gadis di depannya. "Tidur, Lea." Ujarnya lagi, kali ini dengan nada lebih lembut.
"Jangan bilang kalau lo—"
"Dimanapun gambar itu berada, yang jelas sekarang dia berada di tempat yang seharusnya." Adrian meletakkan cangkirnya di atas pagar balkon, lantas berjalan mendekati Azalea. Tangannya yang besar menangkup salah satu pipi gadis itu—dan di luar dugaan, tangannya terasa hangat. Berbanding terbalik dengan udara dingin pagi yang serasa menggigit kulit Azalea. Dia memejamkan mata, mencoba mencari tahu bagaimana caranya bernapas dengan baik dan benar sementara tangan Adrian melekat di salah satu sisi wajahnya.
"Adrian,"
"Lo mau jalan-jalan lagi?" Adrian mengabaikan gumam yang terlontar dari mulut Azalea. " Atau... mau pulang ke Jakarta hari ini? Lo bisa tidur sampai siang. Malas-malasan. Habis itu kita pergi ke pusat oleh-oleh dan cabut ke Jakarta. What do you want to do?"
Azalea ingat bagaimana Adrian berkata padanya untuk mengambil waktu sebanyak yang dia inginkan—dan bagaimana mereka masih punya waktu beberapa hari sebelum minggu tenang berakhir dimana mereka harus segera kembali ke Jakarta untuk menjalani rutinitas akademik masing-masing. Melihat bagaimana cowok itu memberikan kata pulang ke Jakarta sebagai salah satu pilihan menelusupkan sebaris perasaan tidak enak ke dalam benaknya. Apa yang sesungguhnya telah dilakukan oleh Adrian semalam? Kemana gambar itu menghilang? Terlebih lagi, apa yang terjadi hingga cowok itu tampak begitu pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE QUARTZ
Romance[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. Hanya kisah tentang seorang astronot bernama Adrian, yang menolak berada di luar orbit sebuah galaksi yang dia namai Azalea