"Besok aku nggak bisa nganterin kamu ke tempatnya Hana." Adrian berkata begitu sambil memnundukkan kepala untuk memberikan Azalea satu kecupan lembut di bibir sebelum dia berpindah ke sisi istrinya, lantas menarik pinggulnya hingga tubuh Azalea bergeser mendekat. Kulit Azalea terasa hangat di bawah sentuhannya, membuat Adrian harus berusaha keras menahan diri untuk tidak kembali mengubur hidungnya di lekuk leher perempuan itu.
"Kenapa?"
"Ada meeting sama klien. Dia baru pindah rumah dan mau pesan lukisan. Aku harus lihat bentuk ruangannya, jadi aku bisa ngira-ngira jenis lukisan apa yang cocok buat dia."
"Jauh?"
"Lumayan, karena itu kayaknya besok aku bakal bawa mobil." Adrian memainkan helai anak rambut yang jatuh di kening Azalea dengan jarinya. "Besok suruh Hana aja yang main kesini. Bukan kamu datang kesana. Aku nggak mau kamu naik angkutan umum. Apalagi busway."
Azalea tertawa geli, tapi lantas dia mengerucutkan bibirnya. "Kalau aku harus ingetin kamu, jauh sebelum kita ketemu dulu, naik angkutan umum itu udah jadi kegiatan rutin harian buat aku. Dan aku nggak pernah kenapa-napa, tuh. Kamunya aja yang posesif."
"Itu dulu. Sekarang beda."
"Beda apanya?"
Adrian menggeser tubuhnya hingga menutup jarak minim yang terbentang diantara mereka. "Acil nggak suka naik angkutan umum."
Pipi Azalea kontan memerah. "Acil mirip mamanya, bukan mirip papanya. Jadi dia nggak akan parno sama yang namanya angkutan umum."
"Acil bukan cuma anak mamanya, tapi juga anak papanya."
"Idih, sekarang aja ngaku-ngaku. Dulu ngelarang-larang." Azalea mencibir, mengingatkan Adrian pada percakapan mereka hampir tiga bulan lalu, ketika Azale mengajak Adrian bicara tentang kemungkinan bagi mereka untuk punya anak yang langsung ditolak Adrian mentah-mentah.
"Itu kan dulu. Beda sama sekarang."
"Ngeles aja kamu."
"Kalau punya istri kayak kamu, ngeles itu penting." Adrian tertawa, kemudian meneruskan dengan suara yang meski lembut, tetap terkesan tegas. "Sekarang tidur. Katanya tadi udah capek?"
"Aku nggak capek kalau diajak ngobrol. Kalau diajak 'tempur' baru aku capek."
Adrian memutar bola matanya. "Tidur."
"Iya. Sebentar lagi."
"Sekarang, Lea. Sekarang."
"Yaudah. Tapi ada syaratnya."
"Hm?"
"Rub my back."
"Manja." Adrian menggerutu, tetapi tangannya tetap bergerak menelusup masuk ke dalam selimut dan mengelus pelan punggung Azalea yang tidak tertutupi pakaian. Seperti anak kecil yang mencari perlindungan dalam dekapan seorang ibu, Azalea menyurukkan wajahnya ke leher Adrian. Dia menarik napas dalam-dalam disana, mengisi paru-parunya dengan sebanyak mungkin udara yang dalam setiap partikelnya membawa jejak khas Adrian. Bau shower gel mereka yang sama. Bau keringat Adrian. Dan bau khas setelah Adrian mencukur jejak-jejak kehijauan janggut yang mulai tumbuh di dagunya sore tadi. Wangi yang tak pernah gagal membuat Azalea merasa hangat. Wangi yang hanya dimiliki oleh Adriannya.
Sentuhan telapak tangan Adrian yang lembut terasa menenangkan, mengantarkan Azalea jatuh sepenuhnya ke alam mimpi.
***
Adrian baru saja keluar dari kamar mandi dan masih menggosok helai rambutnya yang basah dengan handuk tergantung di pundak ketika dia melihat Azalea sudah bangun. Perempuan itu duduk di tepi ranjang, hanya mengenakan celana pendek dan kaus Adrian yang jelas kebesaran. Well, sejujurnya bukan Azalea yang mengenakan pakaian itu sendiri, tetapi Adrian yang memakaikannya ketika dia bangun menjelang fajar beberapa jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE QUARTZ
Romance[Completed] (sebagian chapters diprivat untuk followers, follow untuk membaca) Cerita ini bukan apa-apa. Hanya kisah tentang seorang astronot bernama Adrian, yang menolak berada di luar orbit sebuah galaksi yang dia namai Azalea