#27

58.6K 7.1K 1.5K
                                    

Dan mereka emang beneran nggak langsung balik.

Hana ngotot kalau dia kelaparan, dan jikalau dia dibiarkan balik ke kost dalam kondisi lapar, niscaya teman-teman satu kost lainnya pun akan menjadi korban. Tentu saja karena tidak lain dan tidak bukan, Hana bakal melakukan tindakan radikal jenis apapun, termasuk mengetuk satu persatu pintu kamar teman-teman satu kostnya, demi mendapatkan makanan. Jadi, Adrian dan yang lainnya merasa kasihan. Hm, atau bukan Adrian dan yang lainnya yang merasa kasihan. Bahkan menurut Jeviar, Hana pantas kelaparan sepanjang malam. Kalau bisa sampai modar sekalian. Gimana enggak? Cewek itu dengan begonya membawa mereka ke dalam klub malam para pencinta batang. Untung aja mereka semua—yang cowok-cowok maksudnya—bisa keluar dari sana dengan keimanan dan kesucian yang tetap terjaga.

Dari semuanya, Dio adalah yang paling mendukung buat mampir ke tempat makan yang dibilang Hana. Alasannya karena dia juga lapar. Boong banget sih. Tapi yah, kalau Dio sudah bersabda, mereka semua bisa bilang apa? Meskipun akhirnya mereka nggak jadi makan di warmindo yang terkenal karena tingkat kepedasan indominya yang setara puncak gunung Olympus, melainkan di restoran ayam geprek langganan Hana. Dan Raya juga tentunya. Doi sih nggak sebel-sebel amat sama Hana, abis walaupun mas-mas bouncer klub nggak ada mirip-miripnya sama Adam Levine, paling nggak ada beberapa cowok yang tadi sempat menyegarkan pandangan.

Sayang banget tuh cowok-cowok ganteng lebih milih ngedipin Jeviar daripada ngedipin dia. Kadang, dunia tuh emang nggak adil. Ada yang dari lahir jadi jomblo sejati karena nggak laku-laku, sementara disaat yang sama ada orang yang bukan cuma ditaksir oleh lawan jenis, tapi juga oleh makhluk sebangsanya.

Restoran ayam geprek itu lumayan rame, tapi untungnya mereka masih bisa dapat tempat duduk. Raya langsung membolak-balik menu dengan antusias sesaat setelah pramusaji mengantarkan menu tersebut, sementara Hana mendengus jengah ketika dia menyadari bagaimana pandangan mata Edgar yang kesal tertuju padanya. Begitu tajam, layaknya kodok yang hendak menyambar nyamuk.

"Lo kenapa ngeliatin gue kayak gitu?! Suka?!" Hana mendesis dengan nada yang mengesankan bahwa dia lagi minta ditonjok. "Sori-sori ya, sampai lebaran monyetpun gue nggak akan suka sama elu!"

"Idih, amit-amit." Edgar menyahut tak mau kalah. Dia masih kesal. Gimana enggak? Kalau yang lain hanya sebatas jadi korban lirikan, kedipan dan godaan dari beberapa om-om gay, dia sempat kena cubit di bahu. Taik banget. Tipikal cubitannya tuh kayak cubit-cubit manja minta diguyur air suci. Kalau mengingat itu lagi rasanya badan Edgar kayak dirambatin sama serangga-serangga kecil. Geli.

"Terus ngapain lo ngeliatin gue? Cantik?" Hana senyam-senyum jumawa. "Emang udah dari dulu, keles!"

"Lo tuh, bisa nggak sih kalau bego ya bego aja, nggak pake udah bego iya, goblok pun iya." Edgar membalas dengan pedas. "Gila banget lo. Kalau misalnya tadi Adrian nggak ngajak kita keluar tepat waktu, mungkin gue dan yang lainnya udah jadi oncom disana."

"Masih mending lah. Gitu-gitu juga om-omnya pada ganteng-ganteng."

"Na,"

"Jangan panggil aku 'Na' karena aku bukan Nana Supena, oke? Panggil aku Barbie."

"Ah, tai."

"Mungkin maksud kamu 'cantik'."

"Yaudahlah." Dio menyela, sementara tangan iseng Raya sudah mulai terulur untuk meraih wadah tusuk gigi. Jeviar melihatnya dari sudut mata, langsung menahan tangan gadis itu dan menatapnya selayaknya seorang ayah yang sedang memperingatkan puteri kecilnya untuk tidak membuat berantakan sesuatu. "yang penting kita udah selamat, ya kan?"

"Pokoknya gue nggak mau percaya sama lo lagi."

"Dih, emang yang ngajak lo ikut siapa coba?" tukas Hana dengan sewot, kemudian dia memekik girang tiba-tiba hingga sebagian besar cowok-cowok yang mengelilingi meja memandangnya heran.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang