#18

60.8K 8K 1.6K
                                    

Saat masih SMA dulu, gue seringkali melihat teman-teman seusia gue dengan iri—terutama mereka yang cukup beruntung bisa merasa dicintai oleh makhluk bernama laki-laki. Sedangkan gue? Gue jelas bukan tipe orang yang mampu menarik hati orang lain. Bunda pernah berkomentar bahwa gue terlalu jutek, yang lainnya memandang gue aneh karena gue adalah penyendiri yang kerap memasang wajah seperti ingin memakan orang lain. Bukannya gue nggak suka tersenyum. Hanya saja, setelah semua yang terjadi dalam hidup gue, gue nggak tau apakah masih ada alasan yang tersisa untuk sekedar tersenyum?

Gue selalu merasa penasaran. Seperti apa rasanya dipedulikan oleh orang yang bukan keluarga? Gimana senangnya kala dia yang berarti buat lo datang bersama bunga dan cokelat. Atau kue ulang tahun penuh lilin tepat jam dua belas malam di hari ulang tahun lalu. Sangat picisan, dan terkesan murahan. Kue ulang tahun, cokelat dan bunga tentu bukan standar sebuah hubungan yang sempurna. Tetapi itu manis. Gue juga perempuan. Nggak ada perempuan yang nggak menyukai tindakan manis, terutama jika itu datang dari lawan jenis yang punya posisi lebih dari teman.

Namun sekarang, ketika cowok itu mulai memasuki hati gue lebih dalam dari yang seharusnya, gue justru merasa bingung. Is he... truly like me?

"Kenapa melamun? Sakit?" Adrian bertanya tiba-tiba sembari sesekali matanya melirik pada gue. Gue memeluk lutut gue lebih erat sambil menggeleng, membiarkan bagian depan sweater Adrian yang kebesaran turut menyelubunginya. Rasanya hangat. Dan nyaman. Aroma Adrian seperti petrichor. Menyejukkan indera penciuman. Merengkuh gue dalam setiap serat benang yang terpintal.

"We're almost there."

Satu-satunya yang gue tau adalah kita tengah berada di sebuah tempat bernama Lembang. Kenapa gue tau? Gue pernah kesini dulu, waktu masih SMA untuk kepentingan study tour sekolah. Bukan pengalaman yang menyenangkan, mengingat gue hanya menghabiskan sepanjang waktu berkeliling sisi kelokan bukit seorang diri.

"Emangnya kita mau kemana?"

"Ke sebuah tempat yang bagus. Dulu Papa sering banget ngajak gue, Mama dan kakak-kakak gue kesana."

"I'm sorry. Gue nggak bermaksud mengingatkan lo sama bokap lo." Gue membalas, agak sedikit merasa bersalah. Meskipun situasinya berbeda, entah kenapa gue berpikir bahwa membicarakan sosok seorang ayah adalah topik yang sangat sensitif bagi kita berdua.

Alih-alih memasang wajah mendung, Adrian justru tertawa kecil. "It's okay. Lagipula, itu udah lama banget. Keluarga gue sudah terbiasa menjalani hari tanpa Papa. Mengunjungi tempat-tempat yang dulu kerap kita datangi sama Papa bukan sesuatu yang menyakitkan, tapi justru bikin lega. Paling nggak, itu bisa jadi pengingat kalau dulu Papa pernah sama-sama kita. Dan beliau menikmati waktunya bareng kita."

Ah ya. Papanya adalah sosok ayah yang bertanggung jawab. Tentu tidak bisa dibandingkan dengan apa yang dilakukan bokap gue.

"Kok diem lagi?"

"Enggak apa-apa. Cuma capek aja."

Adrian menoleh sejenak, lagi-lagi dia tersenyum. Lagaknya seperti sedang mencoba menenangkan gue. Cowok itu hanya mengenakan kaus, meskipun gue sudah mengulurkan jaket yang tadi dia pakai untuk menyelimuti badan gue. Noda basah akibat air hujan di pakaiannya sudah mengering, membuat penampilannya jadi lebih manusiawi ketimbang sebelumnya. Mulanya gue pikir itu cuma mitos, tapi ternyata cowok yang lagi setengah basah memang terlihat ribuan kali lebih menawan daripada yang seharusnya. Atau, hanya Adrian yang bisa begitu?

Enggak tahu juga, sih. Gue kan belum pernah liat cowok hujan-hujanan sebelumnya, selain Adrian.

Tidak sampai setengah jam kemudian, mobil berbelok masuk ke sebuah area parkir. Tempat itu asri dan hijau karena dipenuhi oleh rerimbun pepohonan dan semak yang terpangkas rapi. Kelihatannya Adrian lumayan sering pergi kesana, terlihat bagaimana seakan dia sudah hafal dengan lekuk jalan menuju tempat tersebut. Sesaat setelah mobil berhenti, Adrian segera turun. Cowok itu meraih kopernya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain menarik tas gue. Dalam sekejap, dia berubah jadi seperti kuli angkut pelabuhan dengan gagang koper terpegang di tangan kanan dan tas backpack sarat muatan di punggungnya yang lebar.

ROSE QUARTZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang