***
Mengapa kamu?
Ada jatuh yang tak pernah kuduga-duga, hingga sebuah tanya muncul dalam benak; mengapa kamu. Mengapa pada seseorang yang dapat kuketahui dengan pasti, bahwa akhirnya adalah tidak mungkin?
Ada rasa yang datang tanpa diundang, hingga tanpa sadar kuletakkan namamu pada urutan paling pertama dalam segala hal.
Ada cinta yang sampai kini masih kusangkal. Sebab, memberi hati kepadamu tak pernah sebelumnya terpikirkan. Barangkali, begitulah risiko jatuh cinta.
Betapapun sudah berhati-hati untuk tidak mencintaimu, selalu saja ada jalannya jika memang harus terjadi.
Sementara hati sebetulnya sudah lelah terjatuh sendirian, tapi Tuhan mendatangkan kamu di hadapan. Kali ini entah sebagai jawaban, entah sebagai penambah pertanyaan, entah sebagai pemberi pelajaran.
Jadi, mau dibawa ke mana hatiku yang ada dalam genggammu itu?
Haruskah aku menujumu, perjuangkan kamu lebih jauh?Atau kembali saja pada titik mula cukup jadi pendamba?
Andai kamu mengerti, ini bukan tanpa alasan.
Sebab yang kulihat hanya -dia, pada tatap matamu yang paling dalam. Sebab yang kudengar hanya -namanya, pada tiap nada kebahagiaan.
Sementara aku, tinggal di antara ribuan pertanyaan; tentang mengapa kita kemudian dipertemukan.
Sementara aku, berdiam di tengah ratusan perkiraan; tentang mengapa kepadamu, jatuhku tampak diizinkan.
Jauh, sebelum cinta tampak nyata, sudah kusadari bahwa semuanya akan berakhir dengan sia-sia.Dalam hujan perasaan yang jarang sekali melegakan, aku tersadar bahwa cinta tak ma(mp)u dipaksakan.
Percuma aku berusaha dekat dengan yang lainnya, jika hatiku cuma kamu yang punya. Inginnya kamu ada dua; satu untukku, satu untuknya.
Tapi kutahu, cerita ini tak mungkin tertulis begitu. Cerita ini menawarkan bahagia yang sama untuk kita semua-tapi sayangnya, bukan dari masing masing kita.
Kamu seperti ada untuk kucintai saja, bukan untuk kumiliki. Seperti dekat yang tak terjangkau, terasa tapi tak tergenggam, ada yang seperti tiada.
Aku ingin selalu mendoakan kebahagiaanmu, tapi aku yakin bahwa bahagiamu yang sebenarnya adalah aku.
Lalu, bagaimana aku harus berdoa, jika takdir sudah menentukan jalan hidup yang berbeda dan terpisah untuk kamu dan aku?
Jika kelak aku ditakdirkan harus merelakanmu.
untuk merelakanmu, aku butuh tahu sesuatu. semoga bukan sebab doaku
alasan satu-satunya kini
kau lebih bahagia.Jika kau ingin pergi, pergilah tanpa harus aku ketahui penyebabnya, tak perlu untuk sekedar mengucap selamat tinggal.
sebab 'selamat tinggal' itu kebohongan; tak ada dada yang selamat setelah ditinggal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mengukir Kenangan
PuisiKertas, Pena, & juga Rindu. Mana yang harus kutumpahkan lebih dulu? Tinta atau air mata.