14. Upside Down

47 5 0
                                    


Marah.

Sebenarnya bukan kata yang tepat utuk menggambarkan emosi yang sekarang di rasakan oleh James. Jika ada kata yang lebih kuat yang bisa menggambarkan kekesalan di hatinya dia akan memakai kata itu. Meledak mungkin. Tidak. Masih lebih dari pada itu. Rasanya dia bisa mengunyah kepala orang sekarang.

Dua hari lalu James gagal pergi ke perpustakaan demi menemui Robin. Sore itu dia sudah berlari seperti orang gila, menerobos karyawan lain yang juga ingin segera pergi dari tempat itu setelah lebih dari delapan jam dikurung. Tapi sialnya ketua redaksi tempat dia bekerja, Mr. Reynold, memilih saat itu juga menelponnya dan memintanya untuk 'mengobrol' bersama James. Harusnya hari itu dia bilang bahwa ada keluarganya yang sakit, atau meninggal atau apalah. Bukannya mengamini tugas dari Mr. Reynold.

James mengusap wajahnya, keluar dari ruangan besar tempat baru saja diselenggarakannya seminar besar tentang pariwisata. Ini acara besar dan James ditugaskan oleh Mr. Reynlod untuk menggantikannya disini sebagai salah satu pembicara. Ini kesempatan besar untuknya. Dia begitu dilemma sampai akhirnya dia setuju untuk ikut. Artinya dia harus mengundur dulu pertemuannya dengan Robin. Begitu bodohnya dia, menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu Robin. Padahal dia sendiri yang bilang, bahwa lebih cepat lebih baik. James selalu berpikir bahwa dia adalah laki-laki berprinsip, tapi melihat keadaan sekarang, hal itu butuh di pertanyakan.

James harus menginap selama tiga hari untuk menghadiri acara ini. Selama acara berlangsung, tentu saja senyumnya terkembang. Dia terlihat bersemangat. Berbicara tentang manfaat pariwisata bagi negara dengan menggebu-gebu. Menjawab pertanyaan dari sana ke sini dengan begitu antusias. Dia melihat dirinya sendiri di artikel berita di internet pagi ini. Berita tentang acara kemarin. Wajahnya begitu sumringah. Tidak mengesankan bahwa sebenarnya dia sedang murka di balik senyuman itu.

Dia ingin berlari ke perpustakaan umum New York, sejak dua hari lalu.

Keluar dari ruangan itu, dia masih harus menebar senyum dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari awak media yang tidak henti-hentinya memotret. Ini melelahkan. Tapi dia harus bersikap profesional. Dia menjawab semuanya dengan begitu lancar. Padahal kalau dipikir-pikir, dia tidak ingat apa saja hal yang dia bicarakan atau dia lakukan semenjak kemarin. Dia seperti mayat hidup.

Selesai menjawab pertanyaan dari seorang wartawan wanita dari suatu majalah, dia bergegas menuju kearah pintu keluar gedung. Dia berusaha untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan dari orang lain. Sembari berjalan, dia berusaha melonggarkan kerah kemejanya di balik setelan jasnya. Kemeja itu bahkan tak berdasi, tapi James merasa tercekik dan ingin cepat-cepat keluar dari pakaian itu. Dia berjalan semakin cepat kearah pintu. Namun, sebelum tangannya bisa meraih grendel pintu besar itu, sebuah tangan menepuknya dari belakang. James memutar matanya, bersiap lagi menjawab ocehan-ocehan wartawan yang membuatnya bertambah pusing. Dia berbalik sambil tersenyum. Kau begitu pandai bersandiwara, James. Kau seharusnya dapat piala Oscar. Ocehnya pada diri sendiri.

Seorang wanita berambut pirang panjang berada di depannya. Mungkin seumuran dengannya, atau lebih tua. Entahlah. Tapi yang jelas dia tidak kenal wanita ini. Namun reaksi wanita itu lain. Dia membuka mulutnya lebar begitu pula dengan matanya.

"Oh! Dari awal aku melihatmu keluar dari pintu itu, aku sudah tau ini kau!" Wanita itu berbicara dengan semangat. James menjadi linglung karena dia bahkan tidak tau siapa wanita di depannya ini. Dia hanya memberi wanita ini senyum simpul dan mengucapkan hai.

"Apa kabar, James? Sudah lama sekali tidak bertemu denganmu. Empat tahun? Atau lima mungkin? Lima! Benar lima! Yaampun, sudah lama sekali ya!" Anehnya, gaya bicara wanita ini benar-benar tidak asing bagi James. Dia tau benar pernah bertemu dengan seseorang yang punya gaya bicara seperti ini. Tapi siapa? Dia tidak bisa mengingat.

Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang