Selamat tinggal, Jammie.
Begitu ucap mulut Robin sebelum kakinya melangkah pergi meninggalkan James. Dia tidak berani menatap James saat kata-kata itu terucap dari bibirnya. Dia takut jika dia menatap James, dia tidak akan sanggup untuk benar-benar melangkah pergi dari tempat itu. Setiap langkah kaki Robin terasa berat. Seperti kedua kakinya tidak ingin menuruti otaknya yang menyuruhnya pergi dari sana. Seperti kedua kakinya lebih memilih untuk menuruti kata hatinya yang bilang berbaliklah dan peluk lelaki itu. Tapi dia tidak bisa, dia tidak boleh.
Air matanya kembali menetes, semua insiden delapan bulan lalu kembali menghujaninya. Tetapi bukannya air, hujan itu seperti sebuah tikam yang menusuk disetiap tetesannya. Dadanya ngilu dan dia dibayang-bayangi rasa bersalah. Melihat James, secara langsung seperti tadi membuat semuanya kembali seperti nyata. Membuat Robin semakin yakin dirinya bersalah.
Baru beberapa langkah Robin melewati persimpangan, dia merasa pergelangannya di tarik dari belakang dan tubuhnya menabrak sesuatu sebelum dia mundur beberapa langkah.
“Tidak! Tidak, Robin! Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Tidak seperti sebelumnya.” Mata Robin melebar melihat wajah James lagi. “Setidaknya tidak sebelum aku meluruskan banyak hal.”
Robin menatap wajah James selama dia berbicara. Wajahnya kelihatan lelah dan putus asa. Pandangannya agak kabur, terhalang air mata yang masih mengalir bebas ke pelupuk matanya. Disela-sela momen itu, dia masih bisa memandang James dengan dalam. Dia masih bisa melihat betapa tampan lelaki di hadapannya ini.
Tiba-tiba Robin serasa terlempar ke masa lalu. James didepannya, dengan wajah yang masih sama, hanya sedikit lebih muda. Dengan bulu mata gelap yang lentik (bahkan terlalu lentik untuk seorang pria) mengelilingi bola matanya yang berwarna coklat. Dengan ekspresi putus asa yang sama.
“Kita tidak boleh pergi ke Universitas yang berbeda, oke? Aku tidak mau.” Begitu kalimat yang keluar dari mulut James lebih dari empat tahun lalu. Mereka berada di rumah Robin, di depan komputer yang menampilkan keterangan diterimanya Robin di New York University. James sudah lebih dulu diterima di University of Columbia dan Robin hampir gila waktu itu karena belum juga mendapat kabar dari Universitas manapun. Tapi akhirnya, hari itu dia sangat bahagia dan langsung menelpon James untuk datang ke rumahnya. Yang tidak disangka oleh Robin saat membuka pintu rumahnya adalah, wajah James yang marah dan putus asa.
“James? Jaraknya cuma setengah jam dengan subway! Setidaknya kita masih berada di kota yang sama. Harusnya kau bersyukur. Harusnya kita bersyukur!”
James masih membungkuk ke arah komputer di hadapan Robin untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya dia berlutut disebelah kursi yang di duduki Robin dan menunduk.
“Entahlah. Tapi aku sudah mebayangkan menghabiskan waktu kuliah di tempat yang sama denganmu.”
Butuh sekuat tenaga untuk Robin tidak meleleh di kursinya sambil berteriak ’awww’. Tapi akhirnya Robin hanya tersenyum. Mana bisa dia marah kepada lelaki ini? Dengan mata itu lengkap dengan bulu matanya, dan bibir cemberut itu. Ugh. Robin memeluk leher James erat.
“Semuanya akan baik-baik saja. Setengah jam bukan apa-apa. Kita akan baik-baik saja.” Begitu kata Robin hari itu.
Tapi hari ini lain. Dia tidak bisa meyakinkan James bahwa semuanya akan baik-baik saja, karena dia tahu semuanya tidak baik-baik saja. Dan Robin benci itu. Dia merasakan keinginan yang kuat untuk membuat lelaki ini tersenyum. Dia merasakan keinginan yang kuat untuk kembali lagi kemasa-masa itu. Masa-masa dimana ‘James dan Robin’ merupakan sesuatu.
“Ikutlah ke apartemenku, oke? Kita bisa bicara di sana dan aku pikir hal yang akan kita bicarakan memang tidak bisa dibicarakan di tempat umum.” Robin menggigit bibirnya, merasa marah karena James berasumsi bahwa dirinya akan setuju dengan rencana itu. Tapi dia lebih marah lagi pada dirinya karena pada akhirnya dia memang setuju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Upside Down
RomanceMelupakan. Bukan hal yang mudah bagi siapapun. Tak terkecuali bagi Robin Calbert dan James Finnigan. Bagi Robin Calbert, untuk melupakan seseorang butuh waktu dua kali lipat dari waktu kau mengenalnya. Untuk melupakan kejadian butuh menjauh dari ora...