Entah kenapa Robin tidak terkejut ketika matanya menangkap sosok James masih menunggunya di luar perpustakaan. Dia sudah menyangka ini akan terjadi. Robin tau sekali seberapa keras kepalanya James. James duduk di tembok rendah di deretan pohon kira-kira delapan meter dari Robin. Mulutnya tersembunyi di balik telapak tangannya. Tanpa bisa di cegah, Robin langsung merasa bersalah telah menyuruhnya pergi. Tapi disisi lain Robin berusaha mengingatkan dirinya bahwa bukan dia yang menyuruh James menunggunya, jadi dia tidak perlu merasa bersalah melihat James kedinginan berada di luar selama hampir tiga jam.
James baru mendongakan kepalanya beberapa saat kemudian. Melihat wajah Robin, senyumnya terkembang walaupun tidak sampai ke matanya. Ekspresi Robin tidak berubah. Dia tidak tau dia harus berbuat apa. Dia tidak ingin lagi bertemu dengan James, menguak masa lalu. Tapi dia merasa bersalah karena telah membuat James menunggunya lama.
Robin masih tidak bergerak ketika James mulai melangkah menghampirinya. Dia benci mengetahui bahwa sosok di depannya ini masih memberi pengaruh besar terhadap perasaannya. Jantung Robin berdebar, hampir setempo dengan langkah kaki James yang panjang dan mantap. Kurang dari tiga detik, James sudah berada kurang dari lima puluh senti dari tempatnya berdiri. Aroma lelaki itu masih sama, seperti hujan dan lemon. Robin berusaha menatap wajah lelaki itu. Tatapan lelaki itu masih sama, tapi juga begitu berbeda. Wajah James begitu lelah. Robin menelisik setiap sudut wajah James. Begitu pandangannya kembali ke mata James, Robin mendapati James juga sedang mengamati seluruh wajahnya. Robin mengalihkan pandangannya ke sepatunya.
"Aku cuma ingin bicara."
Robin memejamkan matanya.
"Kenapa?"
"Banyak hal yang harus kita luruskan."
Kita. Tidak ada lagi kita.
Robin harusnya tidak perlu repot-repot meladeni James. Harusnya dia langsung saja lari ke arah flat barunya. Tapi dia malah disini, berdiri di depan laki-laki itu, berharap bahwa segalanya masih seperti dulu.
Robin tanpa sadar menggelengkan kepalanya. "Aku harus pulang."
"Aku bisa mengantarmu pulang." Robin menatap laki-laki itu tak percaya.
Harusnya Robin bialng tidak. Harusnya dia menolak dengan segala cara. Harusnya dia tidak lagi berhubungan dengan lelaki di depannya ini. Itu semua yang harusnya dia lakukan. Tapi James mengangkat alisnya sedikit, dan tatapan itu seperti mengiba. Dan boom... sedikit gerakan itu saja membuat dinding pertahanan Robin roboh.
Robin menuruni tangga perpustakaan dengan pelan, dengan James disampingnya. Robin bisa merasakan bahwa tatapan James berkali-kali jatuh di wajahnya. Tapi Robin tidak berani menengok ke arah James. Dia takut dia akan berbuat hal yang tidak seharusnya dia lakukan.
Malam ini, angin bertiup begitu kencang. Jaket tebal yang di pakai Robin masih tidak cukup untuk menghalau rasa dinginnya. Robin hampir menyesal karena melepas syalnya saat di perpustakaan tadi. Dia merasa malu memakai benda itu di depan James. Dia merasa lemah. Tapi itu demi kebaikan. Dia tidak ingin James berpikir bahwa Robin masih menyimpan benda itu karena dia ingin, bukannya butuh. Walaupun memang kenyataannya begitu, James tidak perlu tahu.
Rasa dinginnya benar-benar tidak membantu perut Robin yang mulai nyeri karena lapar. Dia ingat hanya makan roti isi tadi pagi dan setelah itu, tidak ada lagi. Begitu yang dia ingat. Tangan dan rahang Robin mulai bergetar saat mereka baru berjalan dua blok dari perpustakaan. Artinya masih sekitar delapan blok lagi sebelum mereka sampai di depan apartemen Robin. Robin mengepalkan kedua telapaknya, berharap dengan begitu James tidak melihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Upside Down
RomanceMelupakan. Bukan hal yang mudah bagi siapapun. Tak terkecuali bagi Robin Calbert dan James Finnigan. Bagi Robin Calbert, untuk melupakan seseorang butuh waktu dua kali lipat dari waktu kau mengenalnya. Untuk melupakan kejadian butuh menjauh dari ora...