16. Upside Down

42 4 0
                                    


Syal coklat itu berkibar bebas di hembus angin dingin kota New York. Menari-nari di depan mata James. James tidak bisa melepas pandangannya dari sosok itu. Rasanya seperti kembali ke rumah masa kecil. Rasanya seperti berada di tempat seharusnya. Rasanya seperti pulang. James bahkan tidak berani untuk berkedip. Dia takut bahwa sosok di depannya ini hanyalah hasil ilusi dari otaknya. Dia ingin menyentuh wajah wanita itu. Hanya untuk memastikan bahwa dia nyata. Namun dia masih tau diri. Jadi dia hanya berkedip, dan mendapati wanita itu masih ada disana.

Dia nyata.

Rasanya James ingin mengabadikan wajah wanita itu dengan kamera yang menggantung di lehernya. Kalau saja mata wanita itu tidak penuh dengan ketakutan, gambar yang diambil pasti akan sempurna. Ekspresi wanita itu seperti melihat hari kiamat menyongsong. Hal itu membuat hati James remuk. Dia tidak senang melihat Robin ketakutan. Dia ingin sekali memeluk gadis itu dan mengatakan bahwa tidak ada yang harus ditakuti. Tapi kemudian dia sadar bahwa dirinyalah alasan mengapa Robin ketakutan.

Saat keluar dari perpustakaan, dia pikir tamat sudah perjalanannya untuk bertemu dengan Robin. Seorang wanita paruh baya berkacamata rantai di balik meja depan perpustakaan mengatakan bahwa tidak ada seseorang bernama Robin yang bekerja di sana. Dia harus menelan kepahitan. Dia sedih dan khawatir sekaligus marah. Dia sedih karena artinya dia tidak akan tau dimana Robin, bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja. Dia juga marah karena kalau Robin tidak bekerja di sini, artinya Robin berbohong pada Reece. Robin tidak pernah berbohong pada Reece. Apa yang terjadi padanya?

Namun sekarang, wanita itu ada di depannya. Berdiri disana, masih terlihat sama seperti yang bisa James ingat. Mata dengan dua semesta. Dulu James sangat terobsesi dengan mata itu. Dia membayangkan mata coklat Robin adalah dunia yang penuh dengan tanah. Lembab dan dingin. Sedangkan sebelah mata Robin yang berwarna hijau adalah dunia yang penuh dengan tumbuhan. Hijau dan rindang. Dan kedua mata itu saling mengimbangi. James menelisik wajah Robin lebih dalam. Tapi mata itu tidak seterang yang dia ingat. Mata itu jauh lebih redup dan...kosong?

Tiba-tiba Robin mengalihkan wajahnya dari James dan setengah berlari menuju pintu masuk di belakang James. James ketakutan. Dia tidak boleh lagi kehilangan wanita ini. Tidak. Setidaknya dia harus bicara dulu dengan wanita ini.

"Robs, tunggu-" James tidak menyangka bahwa Robin akan benar-benar berhenti. James manghalangi tubuh Robin dari pintu masuk. Mata Robin terpejam erat seakan mengusir sesuatu dipikirannya. Seakan sedang bertengkar dengan dirinya sendiri di dalam sana.

"Aku harus bekerja." Oh, tuhan. James tidak sadar betapa dia rindu mendengar suara itu sampai dia mendengarnya sekarang. Rasanya seperti ada yang menggenggam jantungnya karena pompa darahnya terasa mengalir lebih cepat. Robin tidak menatapnya. Dia menatap kopi di tangannya. Aroma kopi itu sangat kental. Dan James tau benar gadis itu memegang segelas Americano. Satu lagi alasan untuk satu cabang tumbuh di pohon harapan James.

"Aku hanya butuh bicara sebentar." Suaranya terdengar memelas di telinganya sendiri. Dia harusnya terdengar setangguh kelihatannya. Tapi melihat Robin membuat bagian dalam dirinya serasa di koyak-koyak. Dan dia tidak bisa tenang.

"Aku harus bekerja." Robin mengulang kalimat yang sama, tapi dengan suara yang jauh lebih kecil dan bergetar. Matanya masih menunduk menatap kedua tangannya di gelas kardus kopi yang sekarang juga bergetar. James tau hanya butuh sentilan kecil untuk Robin menangis. Tapi dia benar-benar butuh bicara dengan Robin.

"Aku bisa menunggu."

"Tidak perlu."

"Tapi aku ingin."

Upside DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang